Tuesday, September 25, 2012

Ini Loh Alasan Sarung Sebagai Tradisi di Indonesia

Tradisi menggunakan sarung di Indonesia boleh jadi mulai berkembang setelah masuknya ajar Islam yang dibawa para saudagar dari Arab, khususnya Yaman. Sarung juga merupakan pakaian tradisional para nelayan Arab yang berasal dari Teluk persia, Samudera Hindia, maupun Laut Merah sejak dulu. Sarung juga digunakan olah orang-orang Turki sebagai baju tidur pada abad pertengahan.
 
Sebenarnya di dunia Arab, sarung bukanlah pakaian yang diidentikkan untuk melakukan ibadah seperti sholat. Bahkan di Mesir sarung dianggap tidak pantas dipakai ke masjid maupun untuk keperluan menghadiri acara-acara formal dan penting lainnya. Di Mesir, sarung berfungsi sebagai baju tidur yang hanya dipakai saat di kamar tidur.

Di Indonesia, sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi. Tak heran jika sebagian masyarakat Indonesia sering mengenakan sarung untuk sholat di masjid. Laki-laki mengenakan atasan baju koko dan bawahan sarung untuk sholat, begitu pula wanita mengenakan atasan mukena dan bawahan sarung untuk sholat.

Sarung dipakai berbagai kalangan baik anak-anak, remaja, maupun orang tua tidak mengenal ras maupun golongan, baik kaya maupun miskin. Yang jelas, sarung telah menjadi pakaian ciri khas umat Islam Tanah Air. Sarung tak hanya dikenakan kalangan santri pondok pesantren saja, tapi seluruh lapisan masyarakat juga sudah familiar dan akrab dengan sarung.

Secara teologis, sarung sudah diklaim menjadi salah satu pakaian tradisi Muslim di Indonesia semacam pakaian untuk sholat, pergi ke masjid, pergi tahlilan ke tempat saudara maupun teman yang meninggal, dan memperingati hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
 
Barang kali ada beberapa faktor yang membuat sarung begitu melekat dalam tradisi Islam di Indonesia, antara lain; sarung sangat mudah dipakai dan simpel. Selain itu ukurannya yang panjang mudah untuk menutupi aurat dengan baik. Sarung juga longgar dan tebal sehingga tidak menunjukkan lekuk tubuh pemakainya.

Jika merujuk pada salah satu hadis, penggunaan sarung kemungkinan besar juga sudah dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat dalam sebuah Hadis Riwayat Bukhari- Muslim. Dari Sahal bin Sa’ad dikisahkan bahwa Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita yang berkata, ”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”. Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”

Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? Dia berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini”. Lalu Rasulullah menjawab, “Bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu.” Dia berkata, ”Aku tidak mendapatkan sesuatu pun.”

Rasulullah berkata, ”Carilah walau cincin dari besi.” Pria itu mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah berkata lagi, ”Apakah kamu menghafal Alquran?” Dia menjawab, ”Ya surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Rasulullah, ”Aku menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Alquranmu.” Dari riwayat tersebut, sarung sepertinya telah digunakan sejak zaman Nabi sebagai pakaian untuk menutupi aurat.

Sarung, Simbol Perlawanan Terhadap Koloniaisme

Sarung tampaknya sudah menjadi bagian dari identitas Muslim di Indonesia. Bahkan, sarung juga identik dengan santri yang mondok di pesantren. Mereka sering disebut sebagai 'kaum sarungan'. Hampir di semua pesantren tradisional, para santri menggunakan sarung untuk kegiatan belajar mengajar maupun aktivitas sehari-hari.

Sarung juga telah menjadi simbol perlawanan. Sebagai sebuah wilayah yang mayoritas beragama Islam, sarung sudah menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap negara penjajah Belanda yang terbiasa menggunakan baju modern seperti jas.

Para santri di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung di mana kaum nasionalis abangan telah hampir meninggalkan sarung.

Itulah yang membuat sarung identik dengan budaya Islam di Nusantara. Sejumlah bukti sejarah juga menunjukkan para aktivis kemerdekaan awal yang berasal dari kalangan santri menggunakan sarung untuk melakukan berbagai macam aktivitas, baik aktivitas kenegaraan maupun ibadah.

Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU). Abdul Wahab merupakan kiai merdeka , sebab dalam sepanjang sejarah perjuangannya, kiai asal Jombang itu memang cenderung berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling.

Suatu ketika, Abdul Wahab pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.

Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah. 

Abdul Wahab menunjukkan pentingnya menggunakan sarung sebagai warisan budaya dan identitas nasonalisme. Rupanya perjuangan berat kaum pesantren untuk menegakkan identitas sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya kaum kolonialis Belanda membuah hasil. Saat ini, sarung menjadi simbol kehormatan dan kesopanan yang sering digunakan untuk berbagai macam upacara sakral di tanah air.

No comments: