PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS
MULTIKULTURAL
MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah
Pendidikan Islam Multikultural
Dosen
Pengampu Siswanto, S.Ag, M.Pd. I
Disusun Oleh:
1. Gunawan Riyadi Nur
2. M. Mu’minan
3. Siti Khomsatun
4. Siti Maemunah
PROGRAM
S.1/PAI/VI-D
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU)
KEBUMEN
2012
2012
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadhirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyusun makalah sebagai tugas kelompok yang berjudul “PENDIDIKAN ISLAM
PLURALIS MULTIKULTURAL” ini dengan lancar.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam Multikultural, pada Sekolah
Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Kebumen, Semerter VI, Program S1
Pendidikan Agama Islam, tahun akademik 2011/2012.
Terima kasih kami sampaikan Dosen Pengampu M.
Siswanto, S.Ag, M.Pd.I., dan juga semua
pihak yang telah membantu dalam kami menyusun makalah ini.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin
Kebumen, Mei2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pluralitas
adalah sunnah Ilahi yang dapat dilihat di alam ini. Allah SWT, menciptakan alam
ini di atas sunnah pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam kerangka
kesatuan, Allah menciptakan berbagai macam etnis, suku, budaya dan agama.
Keragaman yang bersifat natural dan kodrati ini akan menjadi sesuatu yang
berharga ketika diarahkan dengan tepat menuju situasi dan keadaan yang
kondusif. Namun sebaliknya, ketika tidak diarahkan dengan pola yang tepat,
karena jaman ini akan menimbulkan perbenturan peradaban (clash of civilization) yang sering menghasilkan situasi konflik
berdarah, yang menciptakan terjadinya perpecahan.
Jika
yang diperlukan adalah kerukunan umat beragama, keharmonisan kultur,
terciptanya kedaiaman dan ketenangan, maka “Pendidikan Islam Pluralis
Multikultural” merupakan kebutuhan yang tidak terelakan untuk ikut
berpartisipasi memberi andil kedamaian trans-agama, budaya, idiologi, dan
keberagaman aspek kehidupan lainnya.
Pendidikan
berbasis multikultural sebagai bentuk penghayatan dan kesadaran keberagamannya
harus mengakui eksistensi pluralisme itu, dan dituntut pula untuk memberikan
perlindungan yang menyejukkan kepada banyak ragam agama, budaya, etnis,
ideologi dan politik. Ini berarti setiap individu harus mengakui akan martabat
manusia lainnya yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing
yang unik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan di atas, pembahasan makalah ini
adalah tentang:
- Apakah
Pengertian Pendidikan Multikutural?
- Bagaiaman
Karateristik, kurikulum dan pendekatan pendidikan Islam Pluralis
Multikultural?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa
Inggris “pluralism” yang berarti
beberapa perbedaan. Pluralism menurut Nurcholis Madjid, tidak dapat dipahami
hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri
dari berbagai suku dan agama, yang
justru hanya menggambarkan kesan
fragmentasi, bukan pluralism. Pluralism harus dipahami sebagai “pertalian
sejati kebihnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. (genuine engagement of diversities within the bond of civilitiy).
Pluralisme bukan sekedar pengakuan
kebinekaan atau keragaman agama, tetapi harus ada pertalian atau hubungan yang
beradab, dan kalau tidak ada pertalian beradab ini pastilah dunia akan hancur.[1]
Pandangan Nurcholis Madjis ini
didasarkan pada QS. Al Baqarah : 251) yang artinya “Seandainya Allah tidak
mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi
hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”.[2]
Alwi Shihab menyebut pluralism tidak
semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemejmukan. Namun yang dimaksud
adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme
agama adalah bahwa tiap-tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, namun terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebinekaan.
Sedangkan multikulturalisme berasal dari
kata “multi” yang berarti banyak, dan “kultur” berarti budaya, sedangkan “isme”
berarti paham atau aliran. Jadi multikulturalisme secara sederhana adalah suatu
paham yang berpandangan bahwa masyarakat itu sendiri terdiri dari banyak
budaya.
B. Pendidikan Islam
Pluralis Multikultural
Multikulturalisme adalah sebuah
filosofi atau ideologi yang menghendaki persatuan berbagai kelompok kebudayaan/
etnis masyarakat yang berbeda dengan memiliki hak dan status sosial
politik yang sama tanpa tuntutan asimilasi.[3]
Terlihat jelas di sini
multikulturalisme tidak mengurusi masalah klaim kebenaran dan keselamatan yang
menjadi ciri khas pandangan hidup masing-masing secara eksklusif.
Multikulturalisme
itu bertentangan dengan monokulturalisme. Monokulturalisme menghendaki adanya
kesatuan budaya secara normatif (istilah ‘monokultural’ juga dapat digunakan
untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Di pihak lain, nultikulturalisme juga
bertentangan dengan asimilasi. Asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk
bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi
perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari
banyak suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk
pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang
berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi
berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang
beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta
mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang
banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik
keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan
“pendidikan pluralisme”.
Apakah sebenarnya
pendidikan pluralisme itu?
Defenisi tentang
pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans Magnez Suseno, yaitu suatu
pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang
semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama
kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang
memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan
nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan
defenisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi
manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi
keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama).[4]
Pengertian pendidikan multikultural yang demikian,
tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan
itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia darimana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapanya,
sekilas adalah terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui
kecemasan, kesejahteraan yang tidak
dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring
manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali menyebut pendidikan yang berorientasi
pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus
berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluralis
multikultural”. Menurutnya, pendidikan
semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan
menaggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi
bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. [5]
Memperhatikan beberapa defenisi tentang pendidikan
pluralisme tersebut di atas, secara sederhana dapatlah pendidikan pluralisme
didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan disini,
dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah,
sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
C.
Karateristik
Pendidikan Islam Pluralis Multikultural
Pendidikan Islam berbasis pluralisme mengedepankan
beberapa karakter sebagai berikut; pertama
pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum
yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan
penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian
integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa
sehari-hari. Tentunya, ini masih menjadi pertanyaan, apakah sistem pendidikan
seperti ini betul-betul mampu membongkar sakralitas ilmu-ilmu keagamaan dan
dikhotomi keilmuan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu keagamaan.
Kedua; Pendidikan
Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis pada
pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak
menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga pemahaman
tentang realitas keberagamaan. Kesadaran
pluralisme merupakan suatu keniscayaan yang harus disadari oleh setiap peserta
didik. Tentunya, kesadaran tersebut tidak lahir begitu saja, namun mengalami
proses yang sangat panjang, sebagai realitas pemahaman yang komprehenship dalam
melihat suatu fenomena.
Ketiga;
Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang
menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang
memberikan keluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab. Sekolah memfasilitasi adanya “mimbar bebas”,
dengan meberikan kesempatan kepada semua civitas untuk berbicara atau
mengkritik tentang apa saja, asal bertanggung jawab. Tentunya, sistem demokrasi
ini akan memberikan pendidikan pada siswa tentang realitas sosial yang
mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda. Di sisi yang lain, akan
membudayakan “reasoning” bagi civitas di lembaga pendidikan Islam.
D.
Kurikulum
Pendidikan Islam Pluralis Multikultural
Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum PAI
yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia
yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk
menjadi manusia yang utuh, yaitu
generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat
hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang
lain.
E.
Pendekatan
Pendidikan Islam Pluralis Multikultural
Untuk menuju sebuah Pendidikan Islam yang menghargai
pluralisme, perlu ditekankan aspek
pendekatan dan pengajaran. Pola-pola lama dalam pendekatan atau pengajaran
agama harus segera dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan
komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik.
Pendidik harus sadar betul bahwa masing-masing peserta didik merupakan “manusia
yang unik” (human uniqe), karena itu
tidak boleh ada penyeragaman-peyeragaman. Dalam prespektif ini, pendidikan
agama Islam yang memberikan materi kajian perbandingan agama dan nilai-nilai
prinsip Islam seperti; toleransi, keadilan, kebebasan dan demokrasi untuk
memperoleh suatu pemahaman di antara orang-orang yang berbeda iman itu adalah
sebuah keniscayaan.
Dalam konteks pendidikan islam berwawasan pluralis
multicultural, seorang pendidik/guru dituntut bersikap demokratis artinya
segala perilakunya tidak dskriminatif
terhadap peserta didik yang berbeda agama.
Metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan agama
pluralis multicultural adalah dengan metode komunikatif yang diharapkan adanya
sikap saling mengenal antar tradisi dan agama sehingga bentuk klaim kebenaran
dapat dihindarkan.
Mengembangkan
sikap pluralisme pada peserta didik di era sekarang ini, adalah mutlak segera
“dilakukan” oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati.
Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui kurikulum pendidikanya
dengan tujuan dan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup
dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara
kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusifisme kelompok agama
dan budaya yang sempit. Sehingga sikap-sikap pluralisme itu akan dapat ditumbuh
kembangkan dalam diri generasi muda kita melalui dimensi-dimensi pendidikan
agama dengan memperhatikan hal-hal seperti berikut:
- Pendidikan
agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan
pendekatan muqaron. Ini menjadi
sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau
pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang
tunggal, namun juga diberikan
pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda,
namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
- Untuk
mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan
lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama
yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam . Sebagai contoh,
dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan
dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk
memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi
ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti
ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam
menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama. karena memang
pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.
- Untuk
memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan
Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga
menyelenggarakan program road show
lintas agama. Program road show
lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan
solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan
siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun
tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami
keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa
diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling
membantu antar sesama.
- Untuk
menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan
program seperti spiritual work camp
(SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut
dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada
keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut.
Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari
keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula
membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu
program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta
solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar
bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan
mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang
lain.
- Pada
bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan
kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”,
misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan
anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada
siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang
di sekitarnya yang kurang mampu.
Selain beberapa hal di atas, perlu kiranya
mengajarkan materi Aqidah Inklusif.
Sebagaimana telah banyak diketahui umat Islam,
aqidah berasal dari bahasa Arab yang berarti “kepercayaan”, maksudnya ialah
hal-hal yang diyakini oleh orang-orang beragama. Dalam Islam, aqidah selalu
berhubungan dengan iman. Aqidah adalah ajaran sentral dalam Islam dan menjadi
inti risalah Islam melalui Muhammad. Tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup
dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki
akidah. Masalahnya karena iman itu bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat
diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari,
terkadang menimbulkan “problem” tersendiri ketika harus berhadapan dengan
“keimanan” dari orang yang beragama lain. Apalagi persoalan iman ini, juga
merupakan inti bagi semua agama, jadi bukan hanya milik Islam saja. Maka, tak
heran jika kemudian muncul persoalan truth
claim dan salvation claim
diantara agama-agama, yang sering berakhir dengan konflik antar agama.
Untuk mengatasi persoalan seperti itu, pendidikan
agama Islam melalui ajaran aqidahnya, perlu menekankan pentingnya
“persaudaraan” umat beragama. Pelajaran aqidah, bukan sekedar menuntut pada
setiap peserta didik untuk menghapal sejumlah materi yang berkaitan denganya,
seperti iman kepada Allah swt, nabi Muhamad saw, dll. Tetapi sekaligus,
menekankan arti pentingya penghayatan keimanan tadi dalam kehidupan
sehari-hari. Intinya, aqidah harus berbuntut dengan amal perbuatan yang baik
atau akhlak al-Karimah pada peserta
didik. Memiliki akhlak yang baik pada Tuhan, alam dan sesama umat manusia.
Pendidikan Islam harus sadar, bahwa kerusuhan-kerusuhan
bernuasan SARA seperti yang sering terjadi di Indonesia ini adalah akibat
ekspresi keberagamaan yang salah dalam masyarakat kita, seperti ekspresi
keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan monolitik serta fanatisme untuk
memonopoli kebenaran secara keliru. Celakanya, ekspresi keagamaan seperti itu
merupakan hasil dari “pendidikan agama”. Pendidikan agama dipandang masih
banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak seakidah)
sebagai musuh. Maka di sinilah perlunya
menampilkan pendidikan agama yang fokusnya adalah bukan semata kemampuan ritual
dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.
Pendidikan agama, merupakan sarana yang sangat
efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta
didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang
untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama dengan
peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan
menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat
mengenal tradisi agama orang lain.
Dalam persoalan syariah, sering umat Islam juga
berbeda pendapat dan bertengkar. Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu .
memberikan pelajaran “fiqih muqarran”untuk memberikan penjelasan adanya
perbedaan pendapat dalam Islam dan semua pendapat itu sama-sama memiliki
argumen, dan wajib bagi kita untuk menghormati. Sekolah tidak menentukan salah
satu mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah
kepada mereka masing-masing.
Pendidikan Islam harus memandang “iman”, yang
dimiliki oleh setiap pemeluk agama, bersifat dialogis artinya iman itu bisa
didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Iman merupakan
pengalaman kemanusiaan ketika berintim dengan-Nya (dengan begitu, bahwa yang
menghayati dan menyakini iman itu adalah manusia, dan bukanya Tuhan), dan pada
tingkat tertentu iman itu bisa didialogkan oleh manusia, antar sesama manusia
dan dengan menggunakan bahasa manusia.
Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat
dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata
sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural,
setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan
yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung
dengan kelompok tertentu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tentang Pendidikan Islam Pluralis Multikultural
di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pendidikan pluralis yaitu
suatu pendidikan yang mengadaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang
semakin luas, mampu melintas batas kita sehingga etnis atau tradisi budaya dan
agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga
yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan
nilai-nilai dasar kemanusiaa untuk perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas.
2.
Pendidikan multicultural
adalah sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai
pluralitas keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).
3.
Pendidikan pluralis multikultural
adalah pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis
secara agama sekaligus berwawasan multicultural.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi Shihab, (1998), Islam Inklusif Menuju
Sikap Terbukan dalam Beragama, Bandung: Mizan.
Hasan,
Hamid, S., (2000), “Pendekatan Multikultural
Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, Edisi Bulan Januari-November, h. 510-524.
Muhammad Imarah, (1999), Islam dan
Pluralitas (Perbedaan dan Kemajemukan Dalam Bhinneka Persatuan), Jakarta:
Gema Insani.
Nurkholis Madjid, Tantangan dan
Kemungkinan, (Republika, 10 Agustus 1999)
Sumartana at al., (2001), Pluralisme,
Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Nurkholis Madjid, Tantangan dan Kemungkinan,
(Republika, 10 Agustus 1999)
[2] Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), hal. 8
[4] Sumartana at al., Pluralisme, Konflik, dan
Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001), hal 70
[5] Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas (Perbedaan
dan Kemajemukan Dalam Bhinneka Persatuan), (Jakarta: Gema Insani. 1999),
hal 67
No comments:
Post a Comment