Tuesday, September 25, 2012

FIQIH ASMARA Bagian 1 "Islamikah Menertawakan Pacaran?"

Dalam perkara pacaran, kita tidak menyangkal adanya sedikit-banyak kemungkaran pada sebagian aktivitas ini pada umumnya. Kita juga tidak membantah, adalah tugas kita untuk mencegah dan meredam merebaknya perbuatan dosa, terutama di lingkungan kita sendiri. Namun, wajibkah kita bersikap kasar kepada para pelaku dosa itu? Berhakkah kita berkata keras kepada mereka? Jawabannya saya usahakan di Bab 1 ini.

Jangan Salah gunakan Statistik untuk Berprasangka!
Bagi kita yang sering mempercayai data statistik begitu saja, mungkin buku Dariel Huff, How to Lie with Statistic (Bagaimana Berbohong dengan Statistik), sungguh mengagetkan. Tentunya, si pakar statistik tersebut bukan mengajari kita untuk berdusta, melainkan agar kita tidak dibodohi oleh data statistik di samping tidak terjerumus menjadi penipu tanpa menginsafinya. Begitu ‘ramalan’ jitu M. Fauzil Adhim sewaktu menyampaikan “Kata Pengantar” di buku KHP.
Huff menunjukkan, kita bisa membohongi publik jika kita gegabah mengambil kesimpulan dan tidak cermat menganalisis data. Dapat pula kita dibodohi apabila kita telan mentah-mentah data yang disajikan beserta kesimpulannya. “Padahal, banyak masalah yang perlu kita cermati lebih lanjut. Banyak pertanyaan yang harus kita ajukan secara cerdas.” (KHP: 25-26) Sebab itu, menghadapi data harus dengan kritik dan merobohkan prasangka. Mudah-mudahan dengan cara ini kita sampai pada kebenaran dan keyakinan. (MINAP: 308)

Kalau tidak begitu, bisa-bisa kita hanya sampai pada prasangka. Karenanya, ada baiknya kita kritisi dua pernyataan berikut ini: “Ramonasari (1996: 304) mengungkapkan bahwa hampir 80% remaja melakukan seks dengan pacarnya (di luar nikah) dalam jangka waktu pacaran kurang dari satu tahun.” (PIA: 18) Menurut polling, “enam dari 10 [gadis] remaja di Jakarta dan Surabaya tidak perawan” (PDKI: 57).

Pertanyaan kita: Apakah metode penelitiannya tepat? Apakah instrumennya dapat diandalkan? Apa yang dimaksud dengan ‘pacaran’? Kalangan remaja manakah yang 80 persennya berzina dalam jangka waktu pacaran kurang dari satu tahun? Kalangan remaja Jakarta dan Surabaya yang bagaimanakah yang 60 persennya tidak perawan? Apakah sampelnya memungkinkan generalisasi untuk kalangan-kalangan lainnya? Mengapa karya tulis Ramonasari yang dijadikan rujukan itu tidak dicantumkan dalam Daftar Pustaka sehingga menyulitkan kita untuk pengecekan? (Kalau pengungkapan hasil penelitiannya itu diambil dari sumber sekunder, mengapa sumber ini juga tidak disebutkan?)

Di buku PIA dan PDKI, saya tidak melihat adanya gelagat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis semacam itu atau pun informasi yang berkaitan dengan keabsahan laporan tersebut. Hasil survei dan polling dikutip begitu saja.

Bagaimana dengan buku JNC? Tampaknya tidak jauh berbeda. Dilaporkan, suatu penelitian menunjukkan, “hampir 97,05 persen mahasiswi di Yogyakarta sudah kehilangan keperawanannya saat kuliah.” (JNC: 48-49) Katanya, dari 1.660 responden, “97,05 persen mengaku sudah hilang keperawanannya saat kuliah.” (JNC: 49) Namun, tanpa menerangkan apakah responden tersebut representatif untuk mewakili populasi ataukah tidak, JNC mengemukakan prasangka sebagai berikut:

“Tragedi Yogya Blues tentang 97,05 persen mahasiswinya yang udah nggak perawan lagi, memang ibarat sebuah tamparan keras buat kita semua. Itu betul-betul memberikan gambaran kepada kita betapa pergaulan antarlawan jenis di sana udah bebas banget. Maka kalau ditanyakan, apa yang salah sehingga 97,05% mahasiswi Yogyakarta hilang kegadisannya?” (JNC: 79-80) “Gimana caranya ya mencari wanita baik-baik, wong di Yogyakarta aja 97,05 persen mahasiswinya udah nggak perawan lagi akibat salah gaul. … berarti dari seratus orang, cuma tiga dong yang masih ‘selamat’?” (JNC: 152) “Wow, sungguh mencengangkan dan mengerikan mengetahui kehidupan seks mahasiswi di kota pelajar Yogyakarta.” (JNC: 48)

Kalau buku KHP, bagaimana? Kelihatannya juga tidak jauh berbeda. Rupanya, di salah satu halamannya tertulis, “penelitian heboh Iip Wijayanto … menyatakan bahwa 97,5% cewek di Yogya sudah nggak perawan lagi.” (KHP: 138) Di sini, sampel ‘1.660 mahasiswi di 16 PT Yogya’ tiba-tiba digeneralisasi sebagai realitas ‘cewek di Yogya’!

Dalam pandangan saya, generalisasi-generalisasi mereka tersebut sesat-pikir lantaran ‘terburu-buru’ dan ‘sembrono’. (Lihat JSP: 19.)

Bagaimana pandangan Allah? Dia berpesan, “Hai orang-orang beriman! Jika ada orang fasiq datang kepadamu membawa berita, pastikanlah kebenarannya, supaya jangan merugikan orang karena tak diketahui.” (al-Hujuraat [49]: 6) Siapakah orang fasiq tersebut? “Mereka yang melemparkan tuduhan [zina] terhadap perempuan baik-baik, dan tak dapat mendatangkan empat orang saksi … mereka itulah orang-orang fasiq.” (an-Nuur [24]: 4)

Mungkin mereka membantah, “Mereka bukan perempuan baik-baik. Sebab itu, tak bisa disimpulkan bahwa kami orang fasiq.” Tapi, menurut Yusuf Qardhawi, “seorang yang dituduh itu dianggap tak bersalah sehingga terbukti kesalahannya.” (IEAP: 43) Dengan demikian, wanita-wanita itu harus diperlakukan sebagai perempuan baik-baik.

Oleh sebab itu, menurut Abdullah Yusuf Ali, segala kabar angin dan laporan mesti diuji. Kebenarannya harus kita pastikan dulu. Kalau tidak, maka “fitnah dalam segala bentuknya di sini termasuk suatu kejahatan atau dosa. Terutama yang menyangkut perempuan, sangat dicela.” (QTT3: 1330)

Untungnya, Fauzil Adhim telah menjelaskan bahwa penelitian yang menghebohkan tersebut tergolong pseudo-research (penelitian palsu). Dengan demikian, hasilnya “tidak bisa dipakai untuk membuat kesimpulan tentang realitas sosial yang ada.” (KHP: 26-27)

Dalam penelitian palsu tersebut, mengapa muncul angka (97,05%) yang menggegerkan itu? Fauzil Adhim menduga, sekurang-kurangnya ada dua kemungkinan. “Pertama, peneliti melakukan manipulasi data. … Kedua, peneliti tidak terlalu menguasai metodologi penelitian sehingga salah dalam mengambil sampel atau tidak memiliki penguasaan logika yang baik. Kemungkinan pertama termasuk kekejian, kejahatan akademis, dan sekaligus penghinaan terhadap martabat kaum Muslimah di Yogya. Sedangkan, kemungkinan kedua termasuk kebodohan yang perlu kita kasihani.” (KHP: 27)

Menuduh Zina Tanpa Empat Saksi Dimurkai Allah

Kiranya, wajarlah dugaan Fauzil Adhim bahwa si ‘peneliti’ beserta penyebar laporannya itu mungkin menghina kaum muslimin. Mengapa? Karena secara tersirat ada dakwaan bahwa hampir semua cewek Yogya (yang sebagian besar muslimah) telah berzina. Sedangkan zina adalah perbuatan keji yang menodai kesucian pelakunya. (Lihat al-Israa’ [17]: 32.)

Pertanyaan kita: Manakah saksi-saksi yang melihat perbuatan zina yang dituduhkan itu? Untuk setiap kejadian zina yang didakwakan itu, “mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi?” (an-Nuur [24]: 13) Mengapa, hanya berdasarkan pengakuan 97,05% dari 1.660 responden, mereka mendakwa bahwa hampir semua cewek Yogya (yang saat ini berjumlah ratusan ribu orang) telah berzina? Padahal, bila mereka tak dapat menghadirkan empat orang saksi untuk setiap kejadian zina yang dituduhkan itu, “dalam pandangan Allah, mereka itulah pembohong!” (an-Nuur [24]: 13)

Terhadap para pembohong yang melontarkan dan menyebarkan fitnah seperti itu, tampaknya Allah sangat murka! Sampai-sampai Dia berfirman: “Mereka yang memfitnah perempuan baik-baik, yang tidak tahu-menahu tapi beriman, mereka dilaknat di dunia dan akhirat. Mereka mendapat azab yang berat.” (an-Nuur [24]: 23) “Mereka yang melemparkan tuduhan [zina] terhadap perempuan baik-baik, dan tak dapat mendatangkan empat orang saksi, deralah dengan delapan puluh kali pukulan.” (an-Nuur [24]: 4)

Dengan demikian, jika ada sesuatu yang sifatnya bisa mencemarkan kesucian seorang perempuan (atau, lebih-lebih, banyak perempuan; misalnya: kaum muslimah Yogyakarta), maka ini harus didukung oleh saksi dengan dua kali kekuatan kasus-kasus pembunuhan biasa. Yakni diperlukan empat orang saksi, bukan dua orang. Ini tidak aneh. Mengapa? Karena fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan! (Lihat al-Baqarah [2]: 191 dan 217.)

Yusuf Ali menerangkan, “Gagal memberikan kesaksian demikian yang merupakan faktor utama itu, maka si pemfitnah sendiri harus diperlakukan sebagai orang jahat dan harus mendapat hukuman dengan delapan puluh kali pukulan.” (QTT2: 885) Dibandingkan dengan pelaku zina yang diancam dengan seratus kali pukulan (lihat an-Nuur [24]: 2), dosa penuduh zina yang tidak menghadirkan empat saksi itu bisa sebesar 80% dari dosa zina itu sendiri. Dosa ini cukup besar dan tak bisa dipandang remeh, bukan?

Bila orang-orang itu belum bertaubat dan belum menerima hukuman ini (dengan ikhlas) di dunia, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pukulan tersebut akan ia dapati kelak di akhirat. “Biarlah [sekarang] mereka tertawa sedikit, tetapi [kelak] mereka menangis yang banyak sebagai balasan atas perbuatan mereka.” (at-Taubah [9]: 82) Apa yang mereka perbuat sehingga kelak mereka menangis yang banyak? “Mereka mencela sebagian dari orang-orang yang beriman … dan mereka menghina orang-orang itu, tetapi Allah akan membalas hinaan mereka, dan bagi mereka azab yang keras.” (at-Taubah [9]: 79)

Azab yang keras? Barangkali kita merasa kasihan kepada orang-orang itu. Bagaimana kalau kita mohonkan ampunan agar mereka terhindar dari azab Allah tersebut? Jawaban Allah: “Engkau memohonkan ampunan sampai tujuh puluh kali sekalipun atau pun tidak memohonkan ampunan, Allah tidak akan mengampuni mereka, sebab [dengan perbuatan mereka tersebut berarti bahwa] mereka mengingkari Allah dan rasul-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum fasiqin itu.” (at-Taubah [9]: 80)

Murka Allah ini agaknya mirip dengan yang ditimpakan kepada kaum munafiqin. (Lihat al-Munaafiquun [63]: 6.) Ini mungkin karena orang-orang munafiq pun tergolong fasiq. (Lihat at-Taubah [9]: 67.) Mereka sama-sama berkata dusta.

Bahwa salah satu ciri orang munafiq itu berkata dusta, kita dapat langsung mengetahuinya dari Al-Qur’an, al-Baqarah [2]: 8-10 dan an-Nuur [24]: 47. Adapun dustanya kata-kata para pendakwa itu bolehjadi lantaran dasar pijakan mereka bukan fakta, melainkan prasangka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya prasangka itu sebohong-bohong perkataan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kepada kita, Allah swt. berpesan, “Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin, karena sebagian prasangka adalah dosa.” (al-Hujuraat [49]: 12) Kebanyakan prasangka itu tanpa dasar yang kuat dan akan menyebabkan dosa. Mengapa dosa? Karena, kata Yusuf Ali, prasangka buruk itu “sungguh kejam menimpa laki-laki dan perempuan yang tak bersalah.” (QTT3: 1331)

Oleh sebab itu, kita perlu mengingatkan “orang yang suka melancarkan fitnah atau yang dapat menimbulkan kesan fitnah terhadap kaum perempuan [dan laki-laki] tanpa disertai bukti sebagaimana mestinya.” (QTT2: 885) Umpamanya, ada yang bilang, “sepanjang sejarah nggak ada yang namanya aktivitas pacaran nggak kelewat batas.” (KHP: 127) Konon, pacaran adalah “upaya menyalakan tungku birahi. … dan jadilah dia [pelakunya] pelacur.” (PIA: 34-35) Katanya, itu karena “pada hakekatnya hubungan intim [seks] merupakan tujuan yang hendak direngkuh dalam berpacaran.” (PDKI: 36) Konon pula, pacaran itu pada hakekatnya “memiliki maksud yang terselubung yaitu memperkenalkan pola hidup free sex.” (PIA: 40)

Pertanyaan kita: Sejarah manakah yang mencatat bahwa pacaran itu selalu identik dengan zina dan pelacuran? Riset manakah yang mengungkap bahwa pacaran itu senantiasa bertujuan merengkuh hubungan free sex?

Barangkali tanggapan mereka: “Memang argumen [tadi] … banyak yang menyangkal. Tidak semua mereka yang berpacaran melakukan hal serupa. Namun tak satu pun dari penyangkal-penyangkal itu yang mampu membuktikan kebenaran ucapan mereka.” (PDKI: 56) Selain itu, “kalau mau jujur, nggak ada alasan yang bisa menguatkan bahwa pacaran itu bebas [dari] zina!” (KHP: 202)

Namun, dalam pandangan saya, tanggapan tersebut sesat-pikir lantaran ‘kekurangtahuan’. Kesesatan ini terjadi ketika mereka memandang benar suatu pernyataan semata-mata karena belum mendapati bukti kekeliruannya atau menganggap salah suatu pernyataan karena belum mendapati bukti kebenarannya. (Lihat JSP: 14.) Dengan kata lain, walau hingga sekarang mereka belum mengetahui hujjah yang menunjukkan kekeliruan dakwaan mereka dan hujjah yang mengungkap kebenaran pernyataan kita, itu bukan berarti bahwa mereka berada di pihak yang benar atau pun bahwa kita bersalah.

Nanti, di Bab 2 dan 3, kita kemukakan bukti-bukti bahwa pacaran itu bisa bebas dari zina dan tidak selalu mendekati zina. Moga-moga, dengan begitu, terlepaslah mereka dan kita dari kesesatan lantaran kekurangtahuan dalam hal ini. (Aamiin.) Akan tetapi, andai dengan hujjah-hujjah itu mereka masih menganggap kita tidak jujur, dan mereka tetap berprasangka bahwa setiap orang Islam yang pacaran pasti melakukan zina, bagaimana? Jawaban kita: Jika dakwaan mereka tidak diperkuat dengan empat orang saksi untuk setiap kejadian zina yang dituduhkan, maka “dalam pandangan Allah, mereka itulah pembohong!” (an-Nuur [24]: 13)
Menyebarkan Prasangka Zina Sangat Menjijikkan

Siapa yang berkata dusta, kita tidak selalu tahu. Buktinya sebagai berikut.
Tidak jarang, kita terdorong untuk menelan bulat-bulat berita yang dibawa oleh orang yang berasal dari golongan kita sendiri. Lebih-lebih bila informasi itu, misalnya tentang ‘tidak perawannya 97,05% cewek Yogya’, muncul dari seorang da’i yang menekuni tasauf, suatu dunia yang ‘suci’. (Lihat JNC: 48 dan DCAHA: 91-92.) Tapi, Allah mengingatkan: “Mereka yang membawa berita bohong itu dari golongan kamu juga.” (an-Nuur [24]: 11)

Kendati pembawa berita bohong itu berniat baik, umpamanya untuk “penambahan data-data sesuai dengan perkembangan yang ada,” (PDKI: xi) atau pun untuk “mendorong orang agar mau mengikuti syari’at”, kita sebaiknya tidak menerimanya. (Lihat MINAP: 298.) Alasan kita, “Janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 42) Lagipula, semua perbuatan baik yang hendak dianjurkan dengan menggunakan berita bohong (atau pun hadits palsu) itu sesungguhnya bisa dipenuhi dengan kabar-kabar yang benar (dan hadits-hadits shahih dan hasan). (Lihat BMHN: 31.)

Di samping itu, risiko dosa lantaran penyebaran berita bohong itu sangat besar. Allah berfirman, “Setiap orang dari mereka akan mendapat hukuman atas dosa yang dilakukannya itu, dan orang yang memegang pimpinan di antara mereka, akan mendapat azab yang besar.” (an-Nuur [24]: 11) “Mereka yang senang bahwa perbuatan [fitnah] keji itu tersebar luas di antara orang-orang beriman, mereka akan mengalami azab yang keras di dunia dan di akhirat.” (an-Nuur [24]: 19)

Boleh jadi, para penyebar dakwaan zina itu tidak menantang azab dan tidak senang menyebarkan fitnah. Mereka hanya bermaksud mencegah kemungkaran. Ada yang berusaha mengetengahkan “fenomena yang mengerikan” dan berupaya mencegah “akibat yang lebih parah lagi” (PIA: 6). Ada yang bilang “supaya cinta kita nggak rusak dan nggak ternoda” (JNC: ix). Ada yang tidak mau terima kalau-kalau “kita telah menggerogoti ajaran Islam” (PDKI: vi). Ada yang hendak “mematahkan ‘legitimasi’ aktivitas baku syahwat” (KHP: 18).

Tentu saja, pencegahan kemungkaran merupakan langkah yang sangat terpuji. Dalam Al-Qur’an, surat Ali ‘Imran ayat 110, ‘amar makruf nahi munkar’ disebut lebih dahulu daripada ‘iman kepada Allah’. Ini mengindikasikan betapa berharganya kegiatan ini dalam pandangan Allah. (KSB: 114) Tak mengherankan, Allah menyarankan: “Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat makruf dan melarang perbuatan mungkar. Mereka itulah orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran [3]: 104) Namun, keburuntungan mereka ini bisa menyusut. Jika mereka menyebarkan dakwaan zina tanpa bukti yang sah menurut syariat, maka pendakwaan itu mungkin merupakan suatu kemungkaran juga.

Rupanya, terhadap sang narasumber, mereka berprasangka ‘baik’. Tapi, terhadap si ‘terdakwa’, mereka berprasangka buruk. Padahal, Allah telah menyampaikan sindiran: “Kenapa ketika mendengar [prasangka zina] itu, kaum mukminin pria dan wanita tidak berprasangka baik dan berkata, ‘[Dakwaan] ini adalah dusta yang nyata’?” (an-Nuur [24]: 12)

Jika kita tidak berprasangka baik kepada ‘terdakwa’ itu, tetapi malah menyebarkan dakwaan tersebut, bisa-bisa kita tergolong menggunjing. Padahal, Allah mengingatkan: “Janganlah kamu menggunjing.” (al-Hujuraat [49]: 12) “Ingatlah ketika kamu menerima [berita prasangka zina] itu dari lidah ke lidah dan kamu katakan dengan mulut kamu apa yang tidak kamu ketahui. Kamu menganggap [penyebaran prasangka zina] itu soal remeh [yang tidak menimbulkan dosa], padahal dalam pandangan Allah itu soal besar [yang mendatangkan azab]. Dan kenapa ketika kamu mendengarnya tidak kamu katakan, ‘Tidak layak kita menggunjingkan soal ini. Mahasuci Engkau [ya Allah]! Ini adalah fitnah yang besar!’?” (an-Nuur [24]: 15-16)

Untuk menghentikan fitnah besar itu beredar lebih jauh, cara terbaiknya barangkali membela ‘terdakwa’. Sekurang-kurangnya, sebaiknyalah kita mengabaikannya dan tidak turut menyebarkannya. Seruan “Mahasuci Engkau, ya Allah!”, menurut Yusuf Ali, adalah pernyataan terkejut dan tidak setuju sama sekali. Seolah-olah dikatakan, “Kami tidak mempercayainya! Dan jangan sekali-kali melibatkan kami dalam penyebaran fitnah!” (Lihat QTT2: 888.)

Ada satu alasan lain mengapa sebaiknya kita memerangi fitnah besar tersebut. Yaitu karena kita didorong oleh Allah untuk membenci kefasiqan (al-Hujuraat [49]: 7), termasuk yang berupa prasangka zina. Menyebarkan prasangka ini bagaikan memakan bangkai saudara kita sendiri. Amat menjijikkan! “Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak! Kamu akan merasa jijik.” (al-Hujuraat [49]: 12) Dalam pandangan Yusuf Ali, orang yang berakal sehat takkan mau makan sesuatu yang menjijikkan, apalagi yang menjijikkan sekali seperti itu. Karenanya, kita diminta untuk tidak mengemukakan prasangka yang bisa melukai perasaan orang lain yang hadir bersama kita, “apalagi untuk mengatakan sesuatu [yang mencemarkan dia] di belakangnya, benar atau [pun] tidak.” (QTT3: 1331)
Melecehkan Pacaran Dimarahi Rasulullah

Sebagian penghujat berusaha mendorong kita untuk menertawakan pacaran. Kata mereka, “kalian mesti simak alasan ringan, tapi masuk akal —yang insya Allah bikin kita menertawakan aktivitas ini.” (KHP: 98) Alasan ringan yang dimaksud itu antara lain: “Pacaran: nggak jelas definisinya”, “nggak jelas ikatannya”, “kuno!”, dan bahwa “ternyata cinta tuh nggak abadi.” (KHP: 6) Memadaikah alasan-alasan ringan itu? Nanti, di Bab 2, saya nyatakan bahwa pacaran itu jelas definisi dan ikatannya, dan cinta itu bukan mustahil abadi. Adapun bahwa pacaran itu tidak kuno, Bab 4 lah tempatnya.

Di samping alasan-alasan ringan itu, menurut mereka, ada dua alasan lain kenapa kita dianjurkan untuk menertawakan pacaran. [1] Mereka mendakwa, “bohong kalau aktivitas yang dimaklumi dan dilegalkan oleh masyarakat ini nggak mengandung risiko.” (KHP: 121-122) [2] “Aktivis masjid, Rohis, LDK,” kata mereka, “banyak yang nyuri-nyuri kesempatan pakai begaya berpacaran ‘Islami’ segala. Jadi getol ke masjid, ikut kajian ternyata lagi mantengin sang Idol Boy atawa Idol Girl. Hhhh… payah, deh! Kalau aktivisnya ajaa masih kayak begini. Ketawain, yuk!” (KHP: 108) Memadaikah dua alasan berat tersebut? Nanti, di Bab 3 dan 4, saya berusaha menjelaskan bahwa pacaran islami memang mengandung risiko, tetapi masih dalam batas-batas yang dapat dibenarkan syari’at.

Untuk sekarang, mari kita periksa beberapa hadits yang relevan dengan persoalan islami-tidaknya sikap dan perilaku menertawakan pacaran:

Dari Abu Umamah, ia mengatakan, telah datang seorang pemuda menghadap Rasul seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku berzina!” Orang-orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, “Celaka engkau, celaka engkau!” Akan tetapi, Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya. Kemudian terjadilah dialog. Rasul bertanya: “Apakah engkau ingin [zina] itu terjadi pada ibumu, saudara perempuanmu, saudara perempuan bapakmu, dan saudara perempuan ibumu?” Si pemuda menjawab: “Sekali-kali tidak. Demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan.” Rasul berkata: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada ibu mereka, saudara perempuan mereka, saudara perempuan bapak mereka, dan saudara perempuan ibu mereka.” Kemudian Rasulullah memegang dada pemuda itu seraya berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya!” (HR Ahmad) Di hadits ini saya lihat, beliau tidak menertawakan atau pun merendahkan si pemuda, tetapi berusaha “menggerakkan jiwa obyeknya secara tidak langsung” (MKI: 24).

Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ada seorang lelaki mencium seorang perempuan (mungkin ‘pacar’-nya), lalu dia datang kepada Nabi saw, dan diberitakannya halnya kepada Nabi. Kemudian itu diturunkan oleh Allah ayat yang maksudnya: “Kerjakanlah shalat pada kedua tepi siang dan sebentar dari malam hari. Sesungguhnya kebaikan [seperti shalat] menghilangkan keburukan [seperti ciuman].” {Hud [11]: 114} Lelaki itu bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah [fatwa] ini buat saya saja?” Jawab Nabi saw: “[Fatwa ini berlaku] bagi semua umatku.” (HR Bukhari) Di sini saya mendapati, walau ciuman itu sangat ‘mendekati zina’, beliau tidak mencela pelakunya. Beliau lebih condong memberi tahu “solusinya”. (MCMD: 77)

Nah! Menghadapi permohonan untuk berzina dan laporan perbuatan yang ‘mendekati zina’ seperti itu, tampaknya Rasulullah bersikap sangat lembut. Lantas, mungkinkah beliau bersikap keras terhadap orang-orang yang memelihara rasa cinta pra-nikah dan ingin pacaran tanpa kehendak untuk mendekati zina? Mari kita lakukan pemeriksaan lagi.

Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, dikisahkan seorang shahabat Rasul sedang ‘tergila-gila’. Mughits namanya. Ia berjalan gontai di belakang Barirah sambil menangis sehingga air matanya mengalir sampai ke jenggotnya. Melihat fenomena asmara di luar nikah ini yang berada di depan mata beliau, saya perhatikan bahwa beliau tidak memarahi atau pun memandang rendah dia. Beliau agaknya menampakkan simpati dengan bersabda: “Tidakkah kau takjub melihat betapa cintanya Mughits kepada Barirah?” (HR Bukhari; lihat MCMD: 190.)

Sikap senada tampaknya tercermin pula dalam sebuah hadits riwayat ath-Thabrani. Di situ diceritakan, seorang gadis Hubaisy menerima ajakan seorang tawanan pria untuk ‘pacaran’. Karenanya, ia bersedia menebusnya. Namun, shahabat-shahabat yang menawan dia justru menghukum mati dengan memenggal kepalanya dan kemudian melaporkan kejadian ini dengan antusias. Namun, kepada mereka, Rasulullah agaknya memperlihatkan kemarahan dengan melontarkan sindiran tajam: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (Hadits selengkapnya beserta penjelasan lebih lanjut akan saya kemukakan di Bab 2.) Hadits ini mengisyaratkan, Rasulullah mungkin marah kepada orang-orang yang melecehkan pacaran.

Demi kehati-hatian, supaya tidak ‘mengundang’ kemarahan beliau, alangkah baiknya bila kita tidak menertawakan pacaran. Menurut Yusuf Ali, kita boleh tertawa untuk berbagi kesenangan hidup dengan orang lain, tetapi “jangan menertawakan orang untuk menghina atau mengejek.” (QTT3: 1331). Allah berpesan: “Jangan ada suatu golongan memperolok golongan lain. Bolehjadi, yang satu [yang diperolok] lebih baik daripada yang lain [yang memperolok]. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan lain. Bolehjadi, yang seorang [yang ditertawakan] lebih baik daripada yang lain [yang menertawakan]. ”(al-Hujuraat [49]: 11) “Allah memperingatkan kamu, jangan sekali-kali kamu mengulang lagi [sikap dan perilaku] demikian, kalau kamu memang orang yang beriman.” (an-Nuur [24]: 17) “Barangsiapa tidak bertaubat, orang itulah yang zalim.” (al-Hujuraat [49]: 11)

Demi kehati-hatian pula, alangkah eloknya kalau kita tidak ‘meninggikan suara’ melebihi Nabi. (Lihat al-Hujuraat [49]: 2.) Jika Rasulullah berlemah-lembut dan bersimpati kepada orang yang menjalin hubungan ‘pacaran’ dan memelihara rasa cinta pra-nikah, maka pantaskah kita bersikap keras dan antipati kepada mereka? Allah mengingatkan, “Sungguh dalam diri Rasulullah kamu mendapatkan teladan yang baik.” (al-Ahzaab [33]: 21) Pesan beliau, “Barangsiapa membenci sunnahku, maka bukanlah ia dari golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim)
Serulah ke Jalan Tuhan dengan Lembut!

“Sekarang sudah datang kepadamu seorang rasul dari golonganmu sendiri: … ia sangat mengasihi orang-orang yang beriman.” (at-Taubah [9]: 128) Muhammad saw., rasul dari golongan kita sendiri, “begitu lemah-lembut, penuh kasih-sayang dan kesabaran yang begitu besar menghadapi kelemahan manusia. Ini adalah sifat yang sungguh agung, yang kemudian, dan yang selalu demikian, menyebabkan banyak sekali orang yang tertarik kepadanya.” (QTT1: 164) “Sekiranya engkau kasar dan berhati kaku, niscaya mereka menjauhi kamu. Maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampun buat mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan.” (Ali ‘Imran [3]: 159)

Fathi Yakan menerangkan, “tindakan yang keras dan kasar menyebabkan jiwa manusia kadang-kadang terdorong untuk takabur, bertahan dalam kesalahannya dan menghindari orang yang menegurnya, akhirnya ia [justru] menonjolkan kebanggaannya dalam mengerjakan dosa itu.” Karena itu, terutama kalau dakwah itu ditujukan kepada kaum muslimin sendiri, “tidaklah sepantasnya da’i blak-blakan membentak-bentak mereka dengan kata-kata yang kasar terhadap suatu kesalahan yang mereka perbuat.” (MKI: 39) Apalagi, dalam pandangan Abu Zahrah, kasih-sayang dan kelemah-lembutan lah yang justru “dapat meluluhkan hati dan perasaan” (DI: 109).

Karena itu, janganlah kita lecehkan para pelaku pacaran, lebih-lebih yang islami! Jangan sebut mereka sebagai “syetan” (PIA: 45), “munafik” (PIA: 34), “pelacur” (PIA: 35), “murahan” (PIA: 19), “piala bergilir” (KHP: 148), “pengecut” (KHP: 153), “nggak punya nyali” (JNC: 151), “musuh dalam selimut” (PIA: 23), “melecehkan Islam” (PIA: 24), “ngakalin hukum” (JNC: 75), “pembohong besar” (PIA: 34), “senang mencicipi legitnya sang pacar hanya dengan semangkuk bakso, sebatang coklat, dan segunung cinta birahi” (PDKI: 102), “binatang bertubuh manusia” (PIA: 40), “lebih sesat dari binatang ternak” (PDKI: 58), “asal njeplak” (JNC: 71), “zalim dan bodoh” (PDKI: 74), “jahiliyah” (KHP: 171 dan PIA: 22), “bodoh dan nggak dewasa” (KHP: 119), “kuno” (KHP: 149), dan sebagainya! Allah menandaskan, “Janganlah kamu mencela dan memberi nama ejekan. Sungguh jahat [pemberian] nama yang buruk itu setelah kamu beriman.” (al-Hujuraat [49]: 11)

Sehubungan dengan celaan dan ejekan itu, mari kita renungkan pesan Allah kepada dua orang rasul-Nya, yaitu Musa dan Harun: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sebab dia berlaku sewenang-wenang. Tapi katakan padanya dengan lemah-lembut, kalau-kalau ia mau ingat atau takut [kepada Allah].” (Thaahaa [20]: 43-44)

Nah! Untuk mendakwahi Fir’aun yang sangat kafir dan amat ‘piawai’ dalam melakukan kemungkaran, rasul-rasul-Nya diperintahkan untuk berkata-kata dengan lemah-lembut. Atas dasar itu, sebaiknyakah kita sampaikan kata-kata kasar kepada sesama muslim, apalagi sampai menghina dan menertawakan mereka, dengan mengatasnamakan ‘nahi munkar’? Tidak! Seandainya pacaran itu selalu merupakan jalan syetan, akankah kita cerca orang-orang yang membudayakannya? Jangan! Firman Allah: “Dan janganlah kamu menista [mereka] yang mengajak kepada yang selain Allah, karena mereka [justru] akan menista Allah tanpa batas dan tanpa dasar pengetahuan.” (al-An’aam [6]: 108)

Bagaimana dengan Surat al-Ahzab [33] ayat 32? Agaknya, ada yang berlandaskan ayat ini (atau tepatnya terjemahan dan tafsiran terhadap ayat ini) untuk berdakwah dengan keras dan enggan berlemah-lembut. Sebuah buku mengemukakan terjemahannya sebagai berikut: “Maka janganlah kamu berkata lemah-lembut, sehingga timbul keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik (tegas).” (PDKI: 5) Tepatkah hujjah mereka? Kita bisa membandingkannya dengan terjemahan Depag RI dan Ali Audah, kemudian kita simak pandangan Yusuf Ali, Qardhawi, dan M. Natsir.

Dalam terjemahan dari Departemen Agama, bukan ungkapan “janganlah kamu berkata lemah-lembut” yang dipakai, melainkan “janganlah kamu tunduk dalam berbicara”. Maksudnya, jangan berbicara “dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka [yaitu melakukan pelecehan seksual terhadap orang yang berbicara itu]”. Sedangkan yang dimaksud dengan “penyakit dalam hati” adalah keinginan untuk berzina. (AQT: 672) Sama sekali tidak ada petunjuk untuk berkata dengan keras atau pun larangan untuk berlemah-lembut.

Dalam terjemahan Ali Audah, bunyinya sebagai berikut: “Janganlah [kamu] terlalu lunak bicara, supaya orang yang ada penyakit di dalam hatinya tidak bangkit nafsunya, tapi bicaralah dengan kata-kata yang baik.” (QTT2: 1083) Yang dimaksud dengan “kata-kata yang baik” itu, menurut Yusuf Ali, adalah lemah-lembut tanpa memamerkan diri. (QTT2: 1083)

Dalam pengamatan Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an tidak memerintahkan sikap tegas dan keras, kecuali di dalam dua tempat: (1) di medan perang dan (2) dalam rangka penerapan sanksi hukum atas yang berhak menerimanya. Di arena dakwah, “tidak ada tempat untuk bersikap keras dan kasar.” (IEAP: 39) Ini selaras dengan pandangan M. Natsir. Walau melarang kemungkaran dengan tegas, Al-Qur’an “selalu bersih dari kekasaran”, tidak memakai “kata-kata yang menjengkelkan hati.” (FDD: 184)

Cara-cara dakwah Al-Qur’an itu tentunya bisa kita tiru. Prinsipnya, “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik; dan berdialoglah dengan cara yang lebih baik. Allah lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.” (an-Nahl [16]: 125)

Dikutip dari : https://wppi.wordpress.com

No comments: