Tuesday, October 2, 2012

TAKBIR CINTA ZAHRANA kat. Novel

Takbir Cinta Zahrana

(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)



Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian  yang  ia  derita  sangat  berbeda  dengan  orang- orang seusianya. Banyak yang  memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan  bisa  dibanggakan.  Bagaimana  tidak,  ia  mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.

Takbir Cinta Zahrana

Satu

Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan   sebagai   dosen   paling   berdedikasi   di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita.

Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya.

Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah?

Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu  tidak  cerdas  dan  tipe  lelaki  kerdil.  Sekarang  si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka.
Kenapa  juga  ketika  selesai  S.l  ia  tidak  langsung
menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios pakaian  dalam  di  Pasar  Bringharjo  Jogja.  Saat  itu kenapa  ia  begitu  tinggi  hati.  Ia  masih  memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.

Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses.

Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi  tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam.

Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata- mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya.

Umurnya  sudah  tidak  muda  lagi.  Tiga  puluh  empat
tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya,  bahkan  mahasiswi  yang  ia  bimbing skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo agamanya.

Hari  ini  ia  kembali  diuji.  Seseorang  akan  datang. Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan pemahaman   kepada   ayah-ibunya   yang   sudah   mulai renta?

Hand  phone-nya  berdering.  Dengan  berat  ia angkat, "Zahrana?"  Suara  yang  sangat  ia  kenal.  Suara  Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, ataulengkapnya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa Jawanya bisa dibilang halus.

"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di pipinya.

"Saya   dan   rombongan   Pak   Karman   sudah   sampai
Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya  Bu  Merlin."  Jawabnya  hambar,  dengan  suara
serak.

"Suaramu   kok   sepertinya   serak.   Sudahlah   Rana, bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan menginginkanmu."

"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti bisa saya berikan."

"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam.

Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji. Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom bensin.   Namun   soal   kredibilitas   moralnya,   susah Zahrana   untuk   memaafkannya.   Repotnya,   jika   ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata bagaimana.

Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah Tlogosari  Kulon.  Lina  berpendapat  untuk tidak mengambil   risiko   dengan   menerima   orang   amoral seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya. Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan. Itu pendapat Lina.

Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia
tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.

Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan. Bukankah itu  bagian dari dakwah yang agung pahalanya?"

Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman. Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam, ia   tak   mungkin   memaafkan.   Jika   sudah   demikian tibatiba  wajah   keriput  kedua  orangtuanya  muncul dengan  sebuah  pertanyaan,  "Kowe  mikir  opo  Nduk? Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1

***

Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang, Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil keputusan   yang   mungkin   tidak   melegakan   mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap berharap   akan   terjadi   hal   yang   membahagiakan. Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga
hatinya  terbuka.  Segera  menikah.  Dan  segera  lahir
cucu yang jadi penerus keturunan.

Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah, Anakku?

la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga- bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,

"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap."

Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang ia  siapkan  adalah  mental  seorang  dosen  pembimbing yang siap maju sidang membela mahasiswanya mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya.

Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda kesayangannya.  Sangat  serasi  dengan  gamis  bordir hijau  tua  bermotif  bunga  melati  putih  kecil-kecil. Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal yang  tidak  memuaskan  hanya  akan  jadi  gunjingan panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.

Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah
jadi.  Yang  tak  ada  ruang  bagi  mereka  berbincang kecuali  kebaikan.  Kali  ini  yang  ia undang  justru  dua orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama ini.

Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga keberhasilan  Bu  Merlin  memprovokasi  Pak  Karman untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya cukup luas.

Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk. Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi kehidupan.  Karena  itulah  posisinya  benar-benar  sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.

Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam membuatnya  tampak  alim.  Seorang  lelaki  setengah baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh
dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam.
Tak  bicara  jika  tidak  perlu  bicara.  Ibunya  yang biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara.

Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan gaya lucu,

"Sebelum yang  lain  mengambil saya dulu  yang  harus mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting bidadari."

Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah yang   hendak   dijejalkan   ke   telinganya.   Bagaimana mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja tidak mau ia dengar.

Lima  belas  menit  basa-basi  akhirnya  Pak  Darmanto, juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan, "...dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting putri   Bapak   Munajat,   yaitu   Dewi   Zahrana   untuk saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."

Ayahnya   menjawab   dengan   suara   rentanya   yang
terbata-bata,

"Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya dengan   penghormatan   yang   le..lebih   baik.   Namun masalah  jodoh  hanya  Allahlah  yang  mengatur.  Putri kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada  kami  berdua.  Dia  bisa  memutuskan  sendiri mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan."

Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke arahnya. la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argumen mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,

"Saya  pernah  mendengar  Baginda  Nabi  Muhammad Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan. Tergesa-gesa  itu  datangnya  dari  setanl'  Saya  tidak mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun.  Termasuk  diri  saya  sendiri.  Maka perkenankan  saya  untuk  menjawabnya  tiga  hari  ke depan.  Saya  akan  langsung  sampaikan  kepada  Pak Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang."

Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar  jawaban  putrinya  itu.  Ia  sudah  tahu  ke mana arah perkataan putrinya itu.

Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahrana langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan senyum yang susah diartikan.

* * *

"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak Karman memang agak tua, tapi ia berpendidikan dan kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya yang sudah tahu keputusannya.

"Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya. Itu saja." Jawab Zahrana.

"Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita saja belum." Bantah ibunya.

Ia merasa, memang agak susah memahamkan ibunya bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak. Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung dia ajak dialog masalah itu.

"Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang. Saya sangat  tahu  siapa  dia,  soalnya  saya  satu  kampus dengannya.  Nanti  kalau  ada  yang  cocok  pasti  saya
menikah Bu."

Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan "pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya.

Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah, tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak.

Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan lugas:

Kepada
Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.c
Di Semarang

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam naungan hidayah-Nya.

To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum dan mohon maaf jika tidak berkenan.

Wassalam, Dewi Zahrana


la lalu menge-print surat itu dan memasukkannya ke dalam  amplop  putih.  Ia  akan  minta  bantuan seorang
mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak
Karman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dan kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala.

Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia prediksi terjadi. Dua hari kemudian ia mendapatkan SMS dari Pak Karman:

"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa jawabanmu sangat mengecewakan aku!"

Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya. Lalu ia mendapat SMS dari Bu Merlin:

"Hari ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu!" Airmatanya meleleh.

"Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih. Ia merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding kamarnya  seakan  hendak  menggenjetnya.  Atap kamarnya seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bisa pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap kuat dan tegar di jalan-Nya.



* * *

Dua

Firasatnya   benar.   Lima   hari   setelah   ia   mengirim jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimik serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya, apalagi   para   mahasiswa.   Pembantu   Dekan   I   di kampusnya itu berkata, "Zahrana, kamu memang bebas menentukan pilihanmu. Namun terus terang saya tidak mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melakukan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak  Karman.  Namun  agaknya ini  semua berantakan karena keangkuhanmu."

"Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha menata hati dan jiwa untuk menerima Pak Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas saya  menikah  untuk  seolah-olah  bahagia.  Saya  tidak mau batin saya justru menderita. Karena saya benar- benar  tidak  bisa  menerima  Pak  Karman.  Saya  tidak mau, setelah  menikah  sosok Pak Karman justru  jadi monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir zarrah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar dengan mengajak bicara dari hati ke hati.

"Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka bumi  ini  yang  bisa  memaksa.  Meskipun  saya  kecewa saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana,
saya  lihat  gelagat  Pak  Karman  berniat  memecatmu
dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu. Ia mengisyaratkan hal itu kemarin setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih baik kau mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia berpijak."
"Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada kaget. "Iya Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja.
Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta politik di kampus."

"Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan sampai titik darah penghabisan!"

"Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika kau nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat untuk  dipukul  sampai  mati.  Mundurlah  dulu. Bertiaraplah sementara waktu. Ini yang kulihat baik untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali ini  percayalah  padaku. Saya tidak rela orang  sebaik kamu jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang sudah saya cium dari sekarang."

Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang disampaikan ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan.

Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat. Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah, "Baiklah Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih."

"Saya  harap  begitu.  Kalau  begitu  saya  pamit  dulu.
Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu
Merlin.

* * *

Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya. Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya: Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah yang harus ditempuh.

Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.

"Apa  sejahat  itu  Pak  Karman?"  tanya  Lina  pada
Zahrana.

"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran Bu Merlin."

"Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?" Zahrana menjawab dengan memandang lekat-lekat teman karibnya itu,

"Sampai  saat  ini  saya  belum  pernah  dibohongi  Bu
Merlin. Saya percaya padanya."

"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di
kampus.  Dan  Bu  Merlin  melihat  dia  akan  membuat
perhitungan denganmu." "Jadi?"
"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas tempat kamu mengajar."

"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?"

"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan yang menyejukkan  mereka.  Bisa kaukatakan tidak kerasan lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain sebagainya." Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan diri.

"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri." "Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu." "Kau memang sahabatku yang baik Lin."


***

Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa dua  pucuk  surat  pengunduran  dirinya.  Satu  untuk rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat dengan  rektor.  Itu  kesempatan  baginya  untuk mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama dosen banyak yang kaget.

"Kami  tahu  dari  Ibu  Merlin  bahwa  kamu  menolak
lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling dekat dengannya.

"Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan berkas-berkasnya.

"Apa ini benar-benar sudah keputusan final?" "Ya. Final."
"Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami sangat kehilangan   kamu   jika   kamu   keluar.   Tidak   banyak pengajar  yang  seahli  kamu.  Jika  nanti  kamu  ingin kembali ke kampus ini jangan segan-segan. Kami para dosen akan men-support-mu."

"Terima kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama ini banyak berbuat salah."

"Sama-sama."

Setelah barang-barangnya rapi. la meletakkan surat pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi berjilbab hitam.

"Nina!"

"Ya Bu Rana."
"Bisa bantu saya sebentar?" "Bisa Bu."
"Kalau  begitu  cari  tiga  teman, dan segera ke ruang
kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit." "Baik Bu."
Ia lalu balik ke ruang kerjanya. "Pak Didik?"
"Ya Bu Rana."

"Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus sayaminta tolong dicarikan taksi."

"O bisa Bu."

Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab, dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari kampus itu.

"Kenapa Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif di
Lembaga Pers Kampus.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja." "Tidak  karena  tekanan  seseorang  kan  Bu?"  tanya
mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak.

"Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada mahasiswa bernama Hasan.

"Kalau ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?" tanya mahasiswa itu lagi.

"O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan
Pak Didik ya. Mereka akan membantumu, insya Allah."

"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun
ibu tidak di kampus ini lagi?"

"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung.

Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan kampus  itu  dengan  membawa  seluruh  barang- barangnya.

Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya: tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!"

Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja kerjanya.  Ia  baca  surat  itu.  Kemarahannya seketika meluap,

"Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tibatiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan nekat itu.

Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satusatunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.

* * *

Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak, sedang    membutuhkan    seorang    guru    baru    yang
profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah
berada   di   payung   Yayasan   Pesantran   Al   Fatah. Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima.

Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri Pesantren   Al   Fatah   sangat   senang.   Pengalaman mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.

Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum pernah  menjadi  santri  sama  sekali.  Ia  merasakan nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar  mahasiswa.  Ada  tantangan  tersendiri mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu eksak tidak penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga tidak penting.

Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak akan ditanyakan di  akhirat. Bagi  mereka, yang  terpenting adalah  "ilmu  agama",  karena  ilmu  itulah  yang  akan dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan.

Dan   Zahrana   tertantang   untuk   meluruskannya.   la merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat dengan   banyak   ulama?   Atau   karena   memang   di pesantren  tempat  ia  mengajar  tidak  ada  manusia seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangat- sangat  durjana.  Hari-harinya  ia  lalui  dengan  lebih tenang dan tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benar-benar  hilang  tanpa  guna.  Sebab  ia  juga  diterima sebagai konsultan sebuah perusahaan properti. Ia juga masih sering didatangi mahasiswanya.

Yang masih sering datang adalah mahasiswanya yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah bimbingannya. Namun setelah ia keluar, tugas pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan teman-temannya  masih  suka  datang  untuk  konsultasi dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri.

Suatu  siang  ayahnya  bertanya,  mengapa  ia meninggalkan kampus dan memilih mengajar di STM Al Fatah yang gajinya jauh lebih kecil.

Ia menjawab, "Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai dan para santri." Ayahnya hanya mendesah tanda tidak setuju.

Namun ia kemudian berusaha menghibur, "Yang kedua Yah, Zahrana berharap mengajar di lingkungan pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan jodoh Zahrana.   Bertahun-tahun   di   kampus   jodoh   yang Zahrana harap tidak juga datang."

Wajah ayahnya itu sedikit cerah, "Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu harus berani minta tolong pada Pak Kiai. Siapa tahu beliau bisa membantu menemukan jodohmu."

"Iya Yah. Mohon doanya terus."
"Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu siang
dan malam, Anakku." "Terima kasih Ayah."
***

Malam   itu   setelah   memeriksa   tugas-tugas   anak didiknya Zahrana membuka komputer. Ia hendak berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan membuat blog ia bisa menemukan jodohnya.

Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering beberapa kali. Ada tiga SMS yang masuk. Iamembukanya:

"Sedang apa perawan tua?"

"Ternyata jadi perawan tua itu indah."

"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!"

Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror paling  primitif,  dengan  kata-kata  yang  merendahkan dan  menyakitkan.  la  periksa  nomornya.  Nomor  yang tidak  ia  kenal.  la  nyaris  membalas  SMS  itu  dengan kata-kata yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia sudah  bisa  menduga  kira-kira  dan  mana  SMS  itu berasal. Akhirnya ia memilih diam. Diam tanpa pernah menganggap  SMS  itu  ada.  Ia  merasa  diam  adalah senjata paling ampuh.

Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila. Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu. Internetnya     sudah     konek.     Lima     email     dari temantemannya  sesama  dosen.  Semuanya menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.

Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka, "Apa kabar Perawan Tua?"
"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya. Banggalah jadi perawan tua!"

Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih asyik berselancar di dunia maya.

Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak Didik mengirim email kepadanya.

la buka email itu: Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu.

la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran. Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya selalu di atas mata kaki itu?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya mohon maaf jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab. Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk memberikan sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan
takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara bahasa lisan tidak.

Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang Ibu   cari   selama   ini   saya   memberanikan   diri   mengajukan   diri. Mengajukan diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu. Saya menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang, untuk   menjadi   isteri   kedua   saya.   Saya   yakin   isteri   saya   bisa menerimanya nanti.

Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini. Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan dia.

Saya yakin dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa bersinergi. Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini.

Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,

Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Hormat saya,
Didik Hamdani, M.T.


Zahrana  membaca  email  itu  dengan  tubuh bergetar, mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan. Yang  jelas  bukan  bahagia.  Ia  merasa  betapa  tidak mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah menjadi wanita.

Jika  Pak  Didik  itu  tidak  memiliki  isteri,  katakanlah duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga
tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap" menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak mau" dimadu.

la membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya, bila ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata isterinya tidak setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan mengatakan kepadanya,

"Hai perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami orang!  Dasar  perawan  tua!  Suka  merusak  pager  ayu orang saja!"

Ia tidak tahu akan menjawab apa.

Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama sekali.  Ia  menganggap  email  itu  tak  pernah  ada. Matanya masih berkaca-kaca.

* * *

Tiga

Bumi terus berputar pada porosnya. Detik berkumpul menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam berkumpul menjadi hari. Minggu berkumpul menjadi bulan. Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar di STM. Namun masalah utamanya belum juga selesai.

la  belum  juga  mendapatkan  jodohnya.  Setelah mendapat tawaran dari Pak Didik, sudah ada dua orang yang maju.

Tapi entah kenapa ia tidak sreg. Hatinya belum cocok. Yang pertama dibawa oleh teman ayahnya. Seorang satpam di sebuah Bank BUMN. Ia tidak lagi melihat status. Satpam atau apapun tak jadi masalah. la tidak sreg karena satpam itu tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Sekali lagi, tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Shalat juga dengan jujur diakuinya tidak pernah lengkap. la hanya membayangkan akan jadi apa anak-anaknya kelak jika ayahnya sama sekali tidak mengenal Al-Quran. Dalam bahasa dia, buta Al-Quran.

Dan alangkah beratnya mengajari ngaji suaminya dari nol. Juga mendisiplinkan shalatnya dari nol. Akhirnya tanpa berpikir panjang ia lebih memilih menunggu yang lain.

Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa oleh temannya   sendiri,   Wati.   Seorang   pemilik   bengkel sepeda motor. Duda beranak tiga. Status duda dengan berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia tidak mungkin cocok dengan duda itu, karena ia telah kawin cerai sebanyak tiga kali dalam waktu tiga tahun.

Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga
perempuan berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa lelaki itu telah insyaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai isteri yang terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan batinya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu.

Datangnya   lamaran   silih   berganti   yang   semuanya ditolak  oleh  Zahrana  itu  membuat  ibunya  sempat marah.

"Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati tak akan mendapatkan jodohnya!"

Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa penolakannya  itu  ada  landasan  logika  dan  syariatnya yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya, dan minta maaf  jika  belum  bisa  menjadi  anak  yang membahagiakan orangtua. Ibunya, akhirnya luluh dalam tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga menangis.

Sang  ayah  berkata  sambil  terisak,  "Saat  pindah  ke STM Al Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di pesantren.  Coba  datanglah  ke  Pak  Kiai.  Coba  kamu minta pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan. Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!"

"Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan sowan ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya." Jawab Zahrana sambil mengusap airmatanya.

Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu Nyai dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu, karena Lina dulu pernah nyatri di Pesantren ARIS Kaliwungu selama satu bulan saja, yaitu selama bulan Ramadhan.
Lina  tentu  lebih  tahu  berdiplomasi  dengan  Bu  Nyai
daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah nyantri.

Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah menyejukkan.  Bu  Nyai  Sa'adah  Al  Hafidhah  adalah isteri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al Fatah.

Bu Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu menghafal Al-Quran di Kudus. Dan di tangannya kini telah lahir ratusan santriwati yang hafal Al-Quran. Saat itu kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu Nyai yang menemui.

'Apa yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh ya siapa namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.

"Nama saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana. Kedatangan saya ke sini pertama untuk silaturrahmi. Kedua   untuk   mohon   tambahan   doa   dari   Ummi. Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al Fatah. Baru enam bulan ini Ummi." Terang Zahrana dengan kepala menunduk.

"O begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?" "Iya, Ummi."
"Dulu nyantri di mana?"

Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong, "Zahrana ini belum pernah nyantri, Ummi. Tapi dia hariannya seperti santri. Zahrana ini dari SMA. Terus kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi."

"Kalau begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di ITB. Jurusan apa?"

"Teknik Sipil, Ummi."

Bu Nyai hanya manggut-manggut.

Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta ia lalu menjelaskan dengan sehalus mungkin maksud utama kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu

Nyai menjawab, "Saya yakin tidak mudah mencari yang selevel denganmu, Anakku. Jujur saja kalau misalnya ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan memilih yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya punya ego, tidak mau isterinya lebih pinter dan lebih tua darinya. Tapi ya tidak semua lelaki lho. Sekali lagi tidak  mudah  mencarikan  jodoh  yang  pendidikannya harus tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu, kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu bagaimana?"

Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia

menjawab, "Saat ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Itu saja."

"Oo,  baiklah  kalau  begitu.  Besok  kautelpon  aku  ya. Nanti  malam  aku  akan  rembugan  dengan  Pak  Kiai. Semoga ada pandangan."

"Baik Bu Nyai."

Keduanya lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai menghabiskan minuman yang ada di gelas.
"Harus  dihabiskan.  Kalau  tidak  habis  itu  namanya
mubazir. Dan orang yang suka mubazir itu teman akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius.

Rana dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang dengan hati diliputi rasa gembira. Bu Nyai Dah, atau Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata sangat halus tuturbahasanya, begitu perhatian dan begitu menyenangkan. Wajar jika banyak santri yang mencintainya.

Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik dia.

* * *

Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati,

"Ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya." Ia bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi tanda tanya.

"Bu Rana, saya baru saja ditelpon sama Bu Nyai Dah. Beliau minta kau menghadap beliau sekarang juga." Begitu kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang kerja beliau. Zahrana langsung tahu kenapa Bu Nyai memanggilnya.

Ia langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah. Bu Nyai Dah ternyata sudah menunggunya sambil membaca Al- Quran. Begitu Zahrana sampai beliau menghentikan bacaannya.

"Duduklah, Anakku."

Ia duduk dengan kepala menunduk.

"Begini, Anakku.  Pak  Kiai  punya  seorang  santri  yang
sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad. Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah. Itulah informasi yang bisa aku berikan. Musyawarahkanlah dengan kedua orangtuamu dan kerjakanlah shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik."

"Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi, karena tadi kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.

"Ya. Semoga barakah, Anakku!"

Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai:

"...Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah...!"

Sambil berjalan ia menirukan ucapan Bu Nyai, "Pekerjaannya  sekarang  jualan  kerupuk  keliling.  Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!"
"Hmm   penjual   kerupuk   keliling.   Apakah   memang
takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?" gumamnya sendiri.

Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya.

"Tapi  meskipun  penjual  kerupuk  keliling.  Ia  adalah orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu Nyai  bahwa  status,  strata,  kedudukan  sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan lagi.   Yang   aku   inginkan   adalah   suami   yang   baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?"

Sampai   di   kelas   ia   tidak   konsentrasi   mengajar. Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada yang berani membantah.

Sampai  di rumah  ia mengajak musyawarah ayah  dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju.

"Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia."

Demikian kata ibunya.

Ia mulai mantap. Namun merasa masih belum cukup. Ia lalu menelpon Lina. Dari jauh Lina menjawab,

"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah. Dengan begitu dia akan selesai S.l dan jarak pendidikan tidak terlalu
jauh.   Dan   sebenarnya   dengan   dia   mengabdi   di Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran. Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang terbaik."

Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah Istikharah  rasa  mantapnya  semakin  besar.  Hari  itu juga ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan kemantapannya.

Bu Nyai menjawab,

"Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!"

"Saya   tinggal   di   Perumahan   Klipang   Asri.   Jalan
Madukara B-15."

"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih jugamantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak apaapa."

"Baik Bu Nyai." Jawabnya.

Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Janganjangan
ia yang nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu justru
yang tidak mau dengan alasan minder dan lain sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu yang menjawabnya, desahnya.



* * *

Hari berikutnya Zahrana benar-benar tidak ke manamana sejak pagi. Hari itu ia ijin tidak mengajar demi mengejar takdir. Ia menunggu di ruang tamu. Terkadang juga di beranda. Sesekali ke jalan. Penjual kerupuk itutidak juga datang.

Jam sebelas siang seorang penjual kerupuk datang.

"Puk Kerupuk! Puk Kerupuk!" Suara penjual kerupuk itu membahana. Hari Zahrana sedikit lega. Ia menunggu. Suara itu semakin  mendekat. Semakin mendekat. Ia keluar ke beranda. Begitu penjual kerupuk sampai di depannya, ia berteriak,

"Kerupuk Pak!"

Penjual kerupuk itu menghentikan langkah. Tempat kerupuk yang dipikulnya ia turunkan. Zahrana terperanjat. Sudah tua. Ia memperkirakan umurnya mendekati lima puluh tahun. Kulitnya hitam legam tersengat matahari. la hampir menangis.

"Iya Bu, beli berapa?" "Tiga ribu Pak."
"Baik Bu."

Penjual    kerupuk    itu    mengambil    kerupuk    dan
memasukkan ke dalam plastik lalu menyerahkan kepada
Zahrana. Zahrana mengeluarkan uang dua puluh ribu. "Ada yang kecilBu?"
"Aduh tak ada Pak."

"Aduh gimana ya Bu. Saya tak ada kembalian. Udah ibu bawa  dulu  saja  kerupuknya.  Kapan-kapan  kalau  saya lewat ibu bayar."

"E jangan Pak. Udah bapak bawa saja. Itu sedekah saya untuk Bapak."

"Baik Bu kalau begitu. Matur nuwun ya Bu. Semoga keinginan ibu dikabulkan Allah."

"Amin." Dalam hati Zahrana berdoa ingin suami yang saleh dan pantas bagi dirinya.

Begitu penjual kerupuk itu pergi, Zahrana langsung menghubungi Lina sambil menangis. la menceritakan penjual kerupuk yang baru ditemuinya.

"Apakah dalam pandangan Pak Kiai dan Bu Nyai saya memang  pantasnya  untuk  penjual  kerupuk  yang  tua itu?" Nada Zahrana terdengar sedih.

"Tenanglah Rana. Kau sudah tanya sama Pak Tua itu siapa namanya?"

"Tidak terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya namanya tadi. Aku sudah shock duluan tahu penjual itu sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan."

"Ya sudah. Kalau  begitu  kau  sabar saja. Yang  jelas, tidak mungkin Pak Kiai dan Bu Nyai tega menjerumuskanmu.
Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin yang
dikirim Pak Kiai pasti baik. Pokoknya kamu jangan ke mana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mau dapat suami  saleh  harus  sabar  ya."  Lina  berusaha menenangkan dan menguatkan.
"Terima kasih Lin. Semoga yang kaukatakan benar." Zahrana  kembali  menunggu.  Nyaris  satu  hari  penuh
Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel, marah juga berharap. Belum pernah ia sepegal itu. la yang dulu pernah mendapatkan predikat mahasiswa teladan UGM kini menunggu datangnya seorang penjual kerupuk keliling. Begitu pentingnya penjual kerupuk itu. Tapi inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar. Sampai senja tiba, tukang kerupuk selain yang pertama belum datang. Ia menangis. Jika benar, yang dikirim Pak Kiai adalah Pak Tua tadi, maka ia merasa menjadi perempuan paling menderita di dunia. Sampai Pak Kiai dan Bu Nyai yang dia anggap orang yang sangat arif pun, berpendapat bahwa ia pantasnya dengan lelaki berkepala lima. Sudah sedemikian tidak berharganya dirinya.

Ia masuk rumah. Lima belas menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cemas dan galau. Tak ada penjual kerupuk yang datang kecuali Pak Tua tadi. Ia bingung. Ia lemas. Ia keluar lagi. Berharap ada penjual kerupuk lain yang datang. Penjual kerupuk seperti yang ia bayangkan. Ia duduk di kursi beranda. Airmatanya bercucuran,

"Ya Ilahi jika aku punya dosa, ampunilah dosaku. Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah jalanku menyempurnakan  separo  agamaku  sesuai  syariat-Mu.
Mudahkan diriku menyempurnakan ibadah kepada-Mu."

Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak ada siapasiapa di rumah. Ayah dan ibunya sedang ke rumah sepupunya yang memiliki hajat sunatan di Pucang Gading.

Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring, "Kerupuk-kerupuk! Kerupuk Paak! Kerupuk Buu!"
Ia terperanjat  dan  bergegas  keluar. Suaranya lebih tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu telah melewati rumahnya. Ia melongok dari pagar. Penjual kerupuk itu hanya tampak punggungnya. Ia naik sepeda dan   mengayuh   sepedanya   dengan   cukup   kencang. Zahrana jadi penasaran. Dengan cepat ia nyalakan sepeda motornya yang berdiri di beranda. Lalu melesat mengejar. Tak perlu waktu lama agar penjual kerupuk itu terkejar. Apa susahnya bagi sepeda motor untuk mengejar sepeda. Ketika sudah dekat ia berteriak,

"Kerupuk, Mas!"

Penjual kerupuk itu menepi menghentikan sepedanya. Ia melakukan hal yang sama. Penjual kerupuk itu membuka topi lebarnya dan mengipas-ngipaskannya ke tubuhnya. Semarang memang panas, meskipun haritelah senja. Zahrana terperanjat. Masih muda dan ganteng. Keringat yang mengalir, lengan yang kekar

terbakar   matahari   menambah   pesona   tersendiri. Sesaat lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu.
"Iya Bu, beli berapa?" Ia tersadar.
"E...lima ribu."

Penjual kerupuk itu mengambil plastik hitam besar dan memenuhinya dengan kerupuk.

"Ini Bu"

Ia mengambil kerupuk dan mengulurkan uang lima puluh ribu. Penjual kerupuk itu menerima uang itu dan menghitung uang kembalinya.
"Ini kembalinya Bu. Empat puluh lima ribu rupiah." Zahrana menerima dengan tangan kanannya. Sementara
tangan   kirinya   memegang   kantong   plastik   berisi kerupuk. Penjual bersiap melanjutkan perjalanan.

"E, Sebentar, Mas." Zahrana menghentikan.

"Ya Bu, ada apa? Apa uang kembalinya kurang?"

"Tidak kok Mas. Mau tanya, sudah lama jualan kerupuk ya Mas? Kok kayaknya baru ke daerah ini."

"Iya Bu. Sudah lama. Saya memang baru kali ini ke daerah ini. Biasanya saya beroperasi di daerah Mranggen, Plamongan Indah, Pucang Gading dan Penggaron saja,"

"O. Ini cari langganan baru ya?" "Bisa ya, bisa tidak."
"Kok begitu."

"Biasanya  dagangan  saya  sudah  laku  di  timur,  tidak perlu sampai ke kampung ini. Saya jualan ke sini hanya karena sendiko dawuh saja sama Pak Kiai. Pak Kiai saya itu aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah ini, di perumahan ini. Dan anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja.
Besok-besok terserah."

Jantung Zahrana berdegup kencang. Azan Maghrib mengalun.

"Boleh tahu, siapa nama Mas?"

"Nama saya Rahmad Bu. Sudah ya Bu saya jalan dulu. Sudah Maghrib, saya harus cari masjid."

Penjual kerupuk itu mengayuh sepedanya ke arah suara azan berkumandang. Zahrana memandang punggungnya sampai hilang di kejauhan.

"Diakah jodoh yang ditakdirkan Allah untukku?" tanyanya dalam hari.

Ia lalu kembali ke rumahnya. Sampai di rumah ayah ibunya sudah ad a di rumah.

"Dari mana Rana? Ini rumah ditinggal pergi tapi pintu terbuka tak dikunci? Jangan sembrono kamu!" tegur ibunya serius.

"Dari mengejar penjual kerupuk Bu. Wong cuma sebentar kok." Jawab Zahrana tenang.

"Penjual  kerupuk  yang  dikirim  Bu  Nyai  itu?"  tanya ibunya dengan mata berbinar.

"Iya Bu."

"Bagaimana orangnya? Ganteng? Kau cocok?"

"Ah ibu itu lho semangat banget. Yang jelas orangnya baik. Yang lain nanti kita musyawarahkan!"
"Iya. Iya. Baik."
Zahrana  lalu  masuk  kamarnya untuk  siap-siap shalat
Maghrib. Sebelum ia mengambil air wudhu hpnya berdering. Sebuah SMS masuk. Ia buka,

"Ass wr wb. Bu  ini  Hasan. Alhmdulillah tadi sy  sdh wisuda. Dan alhmdulillah sy dinobatkan sbg mhsw terbaik. Ini jg berkat doa dan bimbingan Ibu. Trm ksh sdh mmnjami referensi dll. Mhn doanya. Wassalam."

Ia tersenyum. Ia bahagia membaca SMS itu. Bagaimana tidak  bahagia  jika  ada  seorang  murid  yang  berhasil tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu diwisuda di UGM dan menjadi lulusan terbaik di Fakultasnya. Saat itu ia sangat bahagia. Dan itu pula yang saat ini sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan.

Ia teringat  Nina. Bagaimana dengan Nina? Nina  tak kalah hebatnya dengan Hasan. Tiba-tiba ia tersenyum simpul.  Hasan  dan  Nina  itu  cocok.  Kalau  mereka menikah itu pas. Hasan ganteng, Nina cantik. Sama- sama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa diandalkan.

* * *

Setelah Zahrana melakukan kroscek pada Bu Nyai, memang penjual kerupuk yang masih muda itulah yang dimaksud Pak Kiai. Umurnya 29 tahun. Jadi lebih muda empat tahun dari Zahrana. Setelah memikir dan menimbang tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok.

Ayah dan ibu Zahrana pun cocok. Barulah setelah itu Pak Kiai  dan  Bu  Nyai mempertemukan dua keluarga. Mulanya  si  Rahmad  merasa  minder.  Tapi  Pak  Kiain berhasil meyakinkan Rahmad untuk tidak minder. Pada
Rahmad Pak Kiai berkata,

"Zahrana ini, meskipun berpendidikan tinggi tapi ia rendah hati. Yang  jadi pertimbangan Zahrana dalam mencari suami bukan materi, status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Yang jadi pertimbangan Zahrana adalah agama, iman dan akhlak. Insya Allah, ia gadis salehah yang mampu menghormati suaminya. Jadi kamu jangan minder!"

Akhirnya Rahmad juga menyatakan cocok. Jadilah dua keluarga itu cocok. Saat musyawarah dua keluarga itu, Zahrana  mengutarakan  keinginannya  untuk mempercepat pernikahannya. Usul Zahrana diterima dengan penuh semangat oleh dua keluarga.

"Semakin  cepat  semakin  baik.  Insya  Allah  semakin cepat juga semakin barakah!" Demikian Pak Kiai berkomentar.

Dan ditetapkanlah hari H pernikahan Rahmad dengan Zahrana   dua   minggu   setelah   pertemuan   itu.   Dua keluarga  itu  langsung  didera  kesibukan  menyiapkan pesta pernikahan itu. Karena Zahrana anak tunggal, Pak Munajat ingin semua teman lama dan saudara diundang.

Dengan kerja keras, dalam waktu relatif singkat undangan pernikahan tersebar. Zahrana mengundang semua temannya. Yang tidak bisa dikirimi undangan diberitahu lewat email dan SMS . Ia juga mengundang mahasiswanya yang ia kenal. Mereka ia undang lewat SMS. Para mahasiswanya mengirim balasan dengan nada sangat gembira dan memastikan mereka datang.
Namun dua orang mahasiswa yang ia harapkan datang,
yaitu Nina dan Hasan malah tidak bisa datang. Nina mengirim balasan:
"Trm   ksh   Bu   atas   undangannya.   Smg   prnikhnnya barakah. Maaf sy tdak bisa datang sbb pada hari yang sama saya jg akan melangsungkn akad nikah di Jkt. Saling mendoakan ya Bu. Nina."

Ia bahagia, Nina langsung menikah begitu selesai S.l. Tapi sedikit kecewa karena Nina tidak menikah dengan Hasan.  Seperti  yang  ia  idealkan.  Ia  langsung  sadar, ideal di mata manusia itu berbeda dengan ideal di mata Allah Swt.

Sementara Hasan mengirim balasan,

"Smg prnkhan Ibu pnh barakah. Maaf sy tdk bs datang
Bu.  Sbb  hari  itu  saya  hams  mengurus  beasiswa  S.2
USM (Universiti Sains Malaysia). Motion doanya."

Kabar yang membuatnya bahagia. Mahasiswa penuh dedikasi seperti Hasan memang pantas  mendapatkan beasiswa. Dalam hati ia berdoa semoga semua mahasiswanya berhasil dan sukses.

Tak ketinggalan ia juga mengundang teman temannya sesama dosen waktu mengajar di kampus Fakultas Teknik. Semua ia undang termasuk Bu Merlin.

Hanya Pak Karman yang tidak. Ia tak ingin hari bahagianya rusak dengan melihat bandot tua yang tidak ia suka itu.

Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar itu. Dan ia juga tahu bahwa hanya ia seorang di kampus yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah dan
geram.

"Jangan sebut aku ini Karman jika tidak bisa memberi pelajaran pahit pada perempuan tengik itu!"

Geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya.

Empat

Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin Muslimah hijau muda yang sangat anggun. la memang suka warna hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik Muslimah terkemuka di Solo.

Sore itu, ia mencoba gaun itu di kamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia berkata,

"Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya yang lain."

Hatinya   berbunga-bunga.   la   bahagia.   Jika   boleh meminta  ia  masih  ingin  meminta  akad  nikah  dan walimatul  ursy-nya.  dipercepat  lagi  saja.  Ia  ingin segera mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anakanak yang menjadi penyejuk jiwa.

Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk,

"Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli gaun pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan memakainya di hari pernikahan yang telah kautentukan. Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap saat  dilamar  banyak  orang  dan  bisa  dengan semenamena  menolaknya.  Kenapa  kau  tidak menikmatinya    saja?    Kenapa    tergesa-gesa?    Demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya kaukembalikan saja gaun
pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya."

Ia kaget. SMS berisi kata-kata teror itu muncul lagi. Entah   kenapa,   kali   ini   ia   tidak   setenang   dulu menghadapai SMS teror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh orang yang mengirim SMS kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,

"Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata manusia!"



* * *



Persiapan perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah  Zahrana  nyaris  sempurna.  Besok  acara pernikahan itu akan berlangsung. Rumah itu kini ramai dengan orang. Anak-anak kecil berlarian main kejarkejaran.

Pengeras suara telah dipasang. Lagu-lagu khas pesta pernikahan dinyalakan. Sore itu syair lagu dari group kasidah Nasyida Ria berkumandang,

Duhai senangnya pengantin baru. Duduk bersanding bersenda gurau.
Zahrana   tersenyum.   Besok   ia   akan   mengalaminya. Duduk bersanding dengan suaminya. Zahrana ingin membantu   kaum   ibu   di   dapur   menyiapkan   segala sesuatu. Tapi mereka meminta Zahrana istirahat saja.
Maka setelah shalat Isya ia langsung tidur, agar besok
ia benar-benar fresh dan segar.

Lagu-lagu bahagia masih mengalun. Di luar kamarnya kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anak- anak kecil tertawa-tertawa bahagia.

Mereka berlarian sambil memegang kue di tangannya. Zahrana tidur dalam kebahagiaan tiada terkira. Lagu yang terakhir ia dengar adalah alunan suara Nasyida Ria,

Duhai senangnya pengantin baru. Duduk bersanding bersenda gurau.
Ia benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Jam setengah tiga malam ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Bapaknya terpekur di kursi seperti patung. Linalah yang membangunkannya.

"Ada apa ini Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba masuk dalam hatinya.

Lina yang ia tanya malah menangis.

"Rahmad Rana? Rahmad calon suamimu Rana!" "Ada apa dengan Rahmad?"
Lina tidak menjawab malah semakin keras terisakisak. Paman Rahmad yang ternyata ada di situ menjawab,
"Rahmad telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!" "Apa!!?" Ia kaget bagai tersengat listrik beribu-ribu
volt.





Takbir Cinta Zahrana



"Rahmad  mati  tertabrak  kereta  api!"  lanjut  Paman
Rahmad.

"Oh tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris. Jeritannya  menyayat  hati  siapa  saja  yang mendengarnya. Setelah itu ia pingsan seketika. Semua yang ada di rumah itu terpukul. Para tetangga Zahrana yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi ikut sedih dan meneteskan airmata.

Para tetangga itu lalu bertanya satu-sama-lain,

"Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana Rahmad bisa tertabrak kereta api? Di malam menjelang akad nikah, bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa bisa sampai tertabrak kereta api? Apa yang ia lakukan sebenarnya?"

Paman Rahmad menjelaskan,

"Habis shalat Maghrib tadi ada yang menelpon hpnya. Katanya teman lama ingin bertemu di Pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja. Tapi temannya itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan dengan bisnis yang sangat pen ting. Dan Rahmad akan diajak   sedikit   mengetahui   prospeknya.   Akhirnya Rahmad pergi. Sekalian beli peci baru. Sebenarnya keluarga melarang, tapi Rahmad memaksa pergi. Ia memaksa pergi sendirian. Saudara sepupunya mau ikut bersamanya tapi dilarangnya dengan alasan tenaga saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah.

Sampai jam sepuluh malam Rahmad belum juga pulang. Sebagian  orang  cemas,  sebagian  yang  lain  marah,
Rahmad tidak segera pulang malah begadang dengan
temannya yang tak dijelaskan siapa.

Tepat tengah malam tadi dua orang polisi datang. Mereka memberitahu ada mayat tertabrak kereta api, dan dari KTP di dompetnya diketahui bernama Rahmad. Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan benar mayat yang berlumuran darah itu memang Rahmad."

Mendengar cerita itu semua diam. Semua membisu. Semua  larut  dalam  kesedihan  yang  dalam.  Zahrana masih pingsan.



***



Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar tapi upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagu bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.

Zahrana  belum  bisa  menerima  apa  yang  terjadi.  la masih pingsan berkali-kali. Lina berinisiatif membawa Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus dijauhkan  dari  rumahnya,  di  mana  ia  siap melangsungkan  akad  nikah,  namun  tiba-tiba menciptakan trauma baginya.

Lina membawa Zahrana yang masih pingsan ke RS. Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana siuman. Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah
minum air putih tiga teguk Zahrana menangis.

"Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!" katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak.

"Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba menguatkan.

"Tapi aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!"

"Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja. Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya."

"Tak tahu aku harus bagaimana Lin."

"Sudahlah kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat lemah. Banyaklah berzikir. Dengan banyak berzikir hati akan tenang!"

Dengan setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha ia kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu.

"Anakmu  bagaimana  Lin,  kalau  kau  di  sini?"  tanya
Zahrana.

"Tenang sudah ada yang mengurus. Anakku sedang bersama kakek dan neneknya di Ungaran."

Tiba-tiba airmata Zahrana kembali keluar.

"Bahagianya  punya  anak.  Kau  beruntung  Lin.  Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar yang penuh kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak. Suami saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi...."
Kata Zahrana sambil menangis memandang langit-langit
kamar rumah sakit.

"Sudahlah Rana. Sudahlah. Hanya belum tiba saatnya saja.  Nanti  kalau  tiba  saatnya kau  insya Allah  akan memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki."

"Entahlah  Lin,  harapanku  sudah  pupus.  Aku  merasa tidak bergairah hidup lagi."

"Tidak Rana. Kau tidak boleh pupus harapan. Ingatlah Allah Mahaluas kasih sayang-Nya. Percayalah ini cuma ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini yang diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang kaualami.  Ayolah  Rana,  kau  harus  tabah!  Kau  harus tegar! Kau harus kuat! Kau harus terus maju! Kau tak boleh menyerah. Putus asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap setan!"

"Yah doakan aku ya Lin. Semoga aku kuat. Tapi bagiku ini sangat berat!"

"Aku tahu ini berat, tapi aku yakin kau mampu menghadapinya Rana. Aku yakin."

"Aku beruntung punya teman sepertimu Lina. Terima kasih ya Lin...Kau baik sekali!" Lirih Zahrana dengan mata berlinang-linang.

"Aku  juga sangat  beruntung  punya  teman  sepertimu Rana. Aku banyak belajar kesabaran dan ketegaran justru darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia."

Pintu diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dengan ramah dokter setengah baya itu memeriksa kondisi Zahrana. Semua keluhan Zahrana ia dengarkan dengan penuh  perhatian.  Sesekali  dokter  itu  menghiburnya
dengan perkataan yang lembut dan menyejukkan. Senyumnya mengalirkan kesembuhan.
"Jadi, ibu ini Ibu Zahrana yang pengajar di Fakultas
Teknik Universitas Mangunkarsa itu?"

Zahrana mengangguk.

"Berarti ibu kenal dengan anak saya ya?" "Siapa nama anak Bu Dokter?"
"Namanya Hasan. Hasan Baktinusa."

"O kenal. Bahkan sangat kenal. Selamat ya Bu atas diwisudanya Hasan sebagai wisudawan terbaik. Salam buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar."

"Ya nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita tentang Bu Zahrana. Terima kasih telah banyak membantu anak saya."

"Sama-sama, Bu."

Pertemuan dengan dokter berjilbab yang ternyata ibundanya Hasan itu membuatnya seolah bisa bernafas. Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip dengan Zahrana. Bu  dokter  bernama Zulaikha, biasa dipanggil  Bu  Dokter  Zul  itu  ternyata  juga  menikah dalam usia yang sangat terlambat.

"Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali. Jodoh itu terkadang dikejarkejar tidak tertangkap. Tapi terkadang tanpa dikejar  datang  sendiri.  Yang  paling  penting  adalah
dekat dengan Allah dalam keadaan susah dan bahagia.
Senang dan sedih."

Zahrana seperti mendapatkan suntikan darah segar. Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam hati dia berkata,

"Ya benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali."

Sebelum pergi Bu Dokter itu berkata, "Ada nasihat sangat bagus sekali dari Anton Chekov."

"Apa itu Bu?" tanya Zahrana pelan.

"Anton Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan. Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!' ."

"Nasihat yang baik sekali Bu."

"Ya.   Tidak   ada   salahnya   untuk   memperkaya   jiwa kaubaca juga karya-karya sastra."

"Terima kasih Bu atas semuanya."



* * *



Derita Zahrana ternyata tidak cukup sampai di situ. Tanpa sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan jantung. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit. Namun  tak  tertolong.  Nyawanya  melayang  di perjalanan.

Hari  itu  ia  meninggal  menyusul  calon  menantunya.
Berita kematian Pak Munajat tidak disampaikan kepada Zahrana.  Zahrana  baru  tahu  setelah  ia  pulang  dari rumah sakit dengan jiwa yang telah kukuh.

Mengetahui ayahnya telah tiada ia menangis, namun tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaan Zahrana.

Berita pernikahan yang tidak jadi karena pengantin lelakinya tertabrak kereta api itu dimuat koran terkemuka Jawa Tengah, Suara Mahardika. Kematian Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi menyelidiki saksi-saksi. Polisi mencurigai orang yang menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan masih dalam pencarian.

Beberapa  hari  setelah itu teman-temannya berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Juga temanteman dosen Fakultas Teknik. Hampir semuanya datang.

Termasuk Bu Merlin dan Pak Karman. Zahrana sangat kaget ketika Pak Karman datang. Di hadapan Zahrana Pak Karman berkata pelan sekali,

"Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua diterima di sisi-Nya. Saya berharap semoga gaun pengantinmu benar-benar telah kaukembalikan ke Solo!"

Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang menyengatnya. Kata-kata itu menguatkan keyakinannya   bahwa   yang   menterornya   selama   ini adalah Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak Karman tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo.
Tiba-tiba   firasatnya   mengatakan   kematian   calon
suaminya ada hubunganya dengan SMS terakhir Pak Karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak Karman yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk teror dahsyat yang hendak melumpuhkannya saat itu. Tiba- tiba kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh terpancing. Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus menang. Ia harus tenang.

"Terima kasih berkenan datang Pak." Jawabnya dengan pura-pura tidak memperhatikan perkataan Pak Karman.



Lima

Entah kenapa firasat Zahrana terus mengatakan bahwa Pak Karman ada di balik kematian calon suaminya. la ingin lapor polisi, jangan-jangan orang misterius yang menelpon calon suaminya sebelum kecelakaan itu adalah Pak Karman, atau suruhannya.

Tapi ia tidak punya bukti. la bingung harus berbuat apa. la diskusikan kebingungannya itu pada Lina. Hanya Lina yang kini bisa diajaknya bicara.

"Aku yakin sekali Lin. Iblis tua itu ada di balik kematian
Mas Rahmad. Aku yakin!" kata Zahrana berapi-api.

Lantas ia menunjukkan data-data yang menguatkan dugaannya   itu.   Lina   menanggapinya   dengan   kepala dingin,

"Sudahlah Rana. Jangan menambah rumit masalah. Jangan merepotkan diri sendiri. Jangan menuduh tanpa bukti! Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!"

"Data-data   tadi.   SMS   saat   aku   mencoba   gaun pengantin. Perkataannya saat mengucapkan bela sungkawa. Dan dendamnya kepadaku sehingga ingin memecatku, tidak bisa dianggap sebagai bukti?" seru Zahrana.

"Aku  bukan  pakar  hukum  Rana.  Tapi  sebaiknya  kau fokus pada yang lain saja. Diikhlaskan saja. Orang yang ikhlas itu pasti menang. Karena orang yang ikhlas itu selalu disertai Allah." Sahut Lina pelan. Ia lalu mengambil koran dari tasnya.
"Apalagi  polisi  sudah  mengumumkan  bahwa  kematian
Rahmad murni karena kecelakaan. Coba kaubaca ini baca!" lanjut Lina sambil menyodorkan koran Suara Mahardika.

Zahrana   mengambil   koran   dari   tangan   Lina.   Dan membaca berita yang dimaksud Lina. Ia menghela nafas panjang. Ada rasa kecewa dalam tarikan nafasnya. Lina menangkapnya. Lina berusaha menghibur,

"Sudahlah Rana, sabarkan dirimu. Kuatkan imanmu. Ini ujian bagimu dari Allah, apakah kau jadi hamba-Nya yang pilihan apa tidak. Kata Rasulullah, semua perkara bagi orang Mukmin itu baik. Jika dapat nikmat bersyukur, dan jika dapat musibah bersabar. Semoga musibah ini jadi pahala." Lanjut Lina.

"Sebaiknya kautenangkan diri. Nanti ikhtiar lagi." Zahrana mengangguk. Dalam hati Zahrana bertekad untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Ia teringat perkataan Bu Nyai saat memberikan ucapan bela sungkawa,

"Kita semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua tunduk pada takdir-Nya. Yang Paling berkuasa di atas segalanya adalah Allah Swt."

Sejak itu, Zahrana nyaris tidak pernah meninggalkan shalat malam. Ia labuhkan segala keluhkesah dan deritanya kepada Yang Maha Menciptakan.

Ia pasrahkan dirinya secara total kepada Allah. Dalam keheningan malam ia berdoa,

"Ya Rabbi, ikhtiar sudah hamba lakukan, sekarang kepada-Mu hamba kembalikan semua urusan. Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari semua jenis kejahatan
yang terjadi di atas muka bumi ini. Ya Rabbi, aku memohon kepada-Mu segala kebaikan yang Engkau ketahui. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala hal buruk yang Engkau ketahui."



* * *



Bulan Ramadhan datang. Zahrana semakin menikmati ibadahnya.   Selesai   Tahajjud,   Zahrana   menyiapkan sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua siap, Zahrana membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan.

Sang ibu lalu cuci muka, kemudian makan sahur. Rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan ibunya yang duduk di meja makan itu.

"Ramadhan tahun lalu, kita masih makan sahur bersama ayahmu ya Nak."

"Iya Bu. Sudahlah Bu jangan diingat itu lagi."

"Apakah aku masih berkesampatan melihat kau duduk di pelaminan ya Nak."

"Sudahlah Bu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Jika Allah menghendaki apapun bisa terjadi."

Selesai sahur Zahrana membaca Al-Quran sementara ibunya   shalat.   Begitu   azan   Subuh   berkumandang mereka berdua pergi ke masjid. Selain untuk shalat Subuh berjamaah mereka juga ingin mendengarkan Kuliah Subuh yang diadakan selama Bulan Suci Ramadhan.

Habis dari masjid Zahrana mengajak ibunya berjalan-
jalan menghirup udara pagi keliling komplek perumahan. Mereka berdua masuk rumah ketika matahari sudah terang bersinar di ufuk. Zahrana langsung mandi dan bersiap-siap mengajar.

Jam tujuh kurang sepuluh menit ia sudah sampai di kantor STM Al Fatah. Waktu sepuluh menit sebelum bel berbunyi ia gunakan untuk membaca koran. Ia penasaran pada sebuah judul berita:

"Semarang  -  Sepandai-pandai  orang  menyimpan bangkai, akhirnya kecium juga. Peribahasa ini agaknya layak untuk S (55 tahun), Dekan Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa Semarang. Perilaku cabulnya kepada mahasiswi yang selama ini disembunyikannya akhirnya   terkuak.   Ia   tewas   mengenaskan   di   ruang kerjanya ditikam oleh H (26 tahun) mahasiswa Fakultas Teknik  yang  marah  karena  isterinya  bernama  M  (24 tahun)  diperlakukan tidak  senonoh  oleh  dekan  jebolan universitas terkemuka dari Amerika Serikat itu. Dua mahasiswa suami isteri itu, H dan M kini ditahan pihak berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut...."

Zahrana berkata pelan dalam hati, "Becik ketitik olo kethoro!" Ia  lalu  bertakbir  dalam  hati.  Ia  merasa doanya dikabulkan oleh Allah. Yang jahat itu akhirnya mendapatkan balasannya sendiri.

Setelah  itu  ia  masuk kelas  dengan  penuh  semangat. Anak-anak didiknya ia ajak ke perpustakaan. Ia menugaskan kepada mereka untuk membaca buku yang

Peribahasa Jawa, artinya: perbuatan baik akan diketahui, perbuatan buruk juga akan tampak.

"Kok   tugasnya   membaca   buku   tentang   puasa   Bu. Memang pelajaran kita ini pelajaran agama. Pelajaran kita kan tentang menggambar teknik listrik Bu?"

Dengan tersenyum Zahrana menjawab,

"Justru itulah karena dalam menggambar teknik listrik memerlukan  kesabaran  yang  tinggi.  Maka  ibu  ingin kalian memiliki ruh kesabaran itu. Mumpung kita masuk bulan puasa. Ayo kita kaji hubungan puasa dengan kesabaran. Dan hubungan puasa dengan penghematan. Dan juga hubungan puasa dengan prestasi umat Islam. Kita ke perpustakaan selama dua jam pelajaran. Kalian membaca yang serius. Hasil bacaan kalian, kalian presentasikan satu per satu minggu depan."

Anak-anak siswa kelas satu itu sangat gembira. Sebab diajak oleh guru masuk ke perpustakaan yang jarang mereka dapatkan. Bagi mereka, cara Bu Zahrana mengajar  itu  berbeda  dengan  guru-guru  yang  lain. Selalu ada hal yang baru. Mata pelajaran menggambar teknik listrik di tangan Bu Zahrana jadi pelajaran yang sangat mengasyikkan. Bisa masuk ke banyak hal tanpa kehilangan fokus utama pelajaran.

Sore itu setelah shalat Ashar Zahrana pergi ke warung untuk membeli kelapa, gula merah, dan tepung terigu. la ingin membuat kolak untuk buka puasa. Juga membuat mendoan  dan  bakwan.  Ibunya  ternyata  sudah menyiapkan es degan. Sudah dimasukkan di lemari es sejak siang.
Pulang dari warung ia agak terkejut, sebab ada mobil
sedan tepat di depan rumahnya. Ia menduga-duga siapa yang datang. Setelah masuk ia tahu kalau yang datang ternyata Bu Dokter Zulaikha, ibundanya Hasan.

"Dari mana Bu Zahrana?" tanya Bu Zul.

"Dari warung Bu Zul, ini beli bahan-bahan untuk bikin kolak. Sendirian ya Bu?"

Iya.

"Hasan apa kabarnya? Urusan beasiswanya ke Malaysia beres semua?"

"Alhamdulillah Hasan baik-baik saja. Dia titip salam. Dia tadi masih sibuk nulis-nulis entah nulis apa."

"Senang ibu berkenan dolan ke sini. Ini mampir atau memang menyengaja ke sini?" tanya Zahrana santai.

"Menyengaja ke sini em..."

Ibunda Zahrana yang sedari tadi diam menyela,

"Nak, Bu Zul ini datang karena ada keperluan penting denganmu. Katanya ada hal serius yang ingin beliau konsultasikan denganmu. Sini biar ibu yang bikin kolak, kau bisa bincang-bincang dengan beliau."

Bu Zul langsung menimpal, "Maaf jika kedatangan saya mengganggu."
"O nggak apa-apa Bu," sahut Ibunda Zahrana cepat, "saya tinggal ke belakang dulu ya Bu. Silakan bicara
dengan Zahrana," lanjutnya lalu pergi ke arah dapur.

Zahrana diam, Bu Zul pun diam. Suasana hening sesaat.


"Eh..konsultasi    apa    ya    Bu?"    Zahrana    memecah
keheningan.

"Eh ini. Tentang Hasan, anak saya." "Ada apa dengan Hasan, Bu?"
"Sebelumnya   maaf   ya   Bu,   saya   tidak   bermaksud
menyinggung siapa-siapa lho. Karena saya tahu, ibu termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan, maka saya konsultasi sama Bu Zahrana. Begini, dua hari yang lalu Hasan minta nikah Bu. Menurut ibu bagaimana? Padahal dia kan mau kuliah di Malaysia Bu."

Zahrana mengerutkan dahi,

"Kalau menurut saya pribadi tidak ada salahnya Hasan menikah baru ke Malaysia. Kalau bisa isterinya dibawa, kalau tidak bisa ya tidak apa-apa isterinya ditinggal di Indonesia. Toh Malaysia-Indonesia itu dekat. Sekarang tiket pesawat juga murah."

"Apa menurut Ibu, Hasan sudah layak menikah? Sudah layak punya isteri? Dan bisa bertanggung jawab menghidupi anak jika punya anak?"

"Pendapat saya ini sangat subjektif dari saya Bu. Menurut  saya  Hasan  sudah  sangat  layak  menikah. Selama saya tahu dia di kampus, dia bisa diandalkan tanggung  jawab  dan  kepemimpinannya.  Kenapa  Ibu masih ragu dengan anak sendiri?"

"Saya tidak ragu Bu. Tapi saya mencari kemantapan. Biar mantap jika saya melepas Hasan ke dunia baru yang penuh perjuangan dan aral melintang."
"Mantap  saja  Bu.  Menikah  dini  bagi  orang  seperti
Hasan itu baik. Saya saja menyesal tidak menikah dini dulu."

"Itulah kenapa saya kemari. Selain tentang diri Hasan, saya ingin berdiskusi pada ibu tentang calon yang diajukan Hasan."

"Semoga saja saya kenal dengan calon Hasan itu. Dia kuliah sama dengan Hasan di Fakultas Teknik?"

"Tidak Bu. Saya langsung saja ya Bu. Maaf sebelumnya, Hasan   meminta   kepada   saya   untuk   melamar   Bu Zahrana. Calon yang diajukan Hasan, anak saya itu Ibu."

Zahrana kaget bagai disambar Halilintar. "S...saya Bu?!"
"Iya. Ibu. Anak saya ingin menikahi ibu!"

"Maaf, Bu. Mungkin Hasan cuma bercanda. Saya tidak pernah berlaku yang tidak-tidak sama Hasan Bu, sungguh."  Jawab  Zahrana  dengan  nada  takut  dan kuatir.

la kuatir jika Bu Zul itu datang untuk membuat perhitungan dengannya. Takut kalau ia dianggap berhubungan dengan Hasan.

"Nggak  Bu,  Hasan  tidak  bercanda.  Anakku  sangat serius dalam hal ini."

"Kalau begitu Hasan salah pilih, Bu." Bu Zul malah tersenyum,
"Bu Zahrana kok kelihatannya takut ada apa tho, Bu?"

"Ibu harus percaya pada saya Bu. Saya tidak punya
hubungan apapun dengan Hasan kecuali dosen dengan muridnya Bu. Sungguh Bu!?"

Bu Dokter Zul itu geleng-geleng kepala dan tersenyum. Dia langsung paham maksud Zahrana.

"Bu Zahrana, saya tidak pernah menuduh begitu. Saya percaya pada ibu. Juga percaya pada anak saya. Saya datang kemari untuk menunaikan janji saya pada anak saya itu. Saya berjanji akan membantunya menyunting gadis manapun yang ingin dinikahinya selama akhlak dan agamanya bagus. Dan ketika Hasan ingin menyunting Bu Zahrana, saya langsung setuju. Sebab saya sudah tahu semuanya tentang ibu dari teman ibu, yaitu Bu Lina. Saya berharap. Dan sangat berharap Bu Zahrana tidak menolak pinangan ini. Ini pinangan serius tapi belum resmi.   Jika   Bu   Zahrana   serius   nanti   saya   akan meminang secara resmi dengan membawa Hasan dan ayahnya juga beberapa anggota keluarga."

Zahrana tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang disampaikan  Bu  Zul  itu  sangat  jelas  ia  dengar  dan sangat jelas maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi.
"Ibu sudah tahu say a tapi Hasan belum tahu saya Bu." "Dia lebih tahu dari saya tentang diri Bu Zahrana. Apa
yang masih membuat Bu Zahrana ragu."

"Saya masih belum bisa percaya Bu. Ini hal gila. Mahasiswa melamar dosennya. Apa kata dunia?"

"Harus bagaimana saya agar ibu percaya. Sumpah demi Allah? Baiklah saya bersumpah demi Allah semua yang saya sampaikan benar. Apa lagi? Hal gila? Tidak Bu,
tidak gila. Melangkah untuk mengikuti sunah Rasul itu
bukan ide gila. Itu ide baik. Dan mahasiswa meminang dosen, apakah ada dalil yang mengharamkannya?"

"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi."

"Berarti  menerima. Tidak bicara berarti  diam. Diam tanda menerima."

"Saya ini lebih tua dari Hasan Bu. Dia cocoknya jadi adik saya."

"Syariat tidak menentukan batasan umur. Ibu memang lebih tua. Tapi tidak terpaut jauh. Cuma empat tahun. Hasan umurnya 29. Mukanya memang baby face. Bagi saya sendiri tidak masalah. Toh suami saya juga lebih muda dua tahun dari saya."

"Saya belum bisa menerima Bu?"

"Kenapa? Kata ibu tadi Hasan sudah pantas menikah dan memiliki isteri. Apa lagi? Apa ada dalam diri Hasan suatu  cacat  yang  menurut  ibu  layak  ditolak lamarannya?"

Zahrana diam. la tidak tahu harus bagaimana. la masih belum tahu apa yang terjadi. Hasan melamarnya? Bagaimana mungkin? Tapi ibunya sedemikian serius. Apa yang harus ia putuskan. Zahrana tetap diam.

"Diam berarti menerima. Saya pamit Bu, mana ibunda tadi?"

Zahrana tersentak mendengar Bu Zul mau pamit. Ia berdiri mengikuti Bu Zul yang sudah berdiri.
"Ibu benar-benar serius?" "Iya."

"Hasan juga benar-benar serius?"

"Iya."

"Kalian sudah tahu kekuranganku dan maumenerimaku?" "Iya. Tak ada manusia yang sempurna."
"Kalau begitu saya terima, tapi dengan syarat."

"Apa syaratnya?"

"Akad nikahnya nanti malam bakda shalat Tarawih di masjid. Biar disaksikan oleh seluruh jamaah masjid. Maharnya seadanya saja."

Kini gantian Bu Zul yang tersentak kaget. Ia tidak menduga Bu Zahrana akan mensyaratkan begitu.
"Apa nggak sebaiknya akadnya setelah Idul Fitri saja." "Tidak. Ibu sudah tahu kan cerita saya selama ini. Apa
ibu ingin saya mati kaku gara-gara saya tidak jadi nikah lagi. Saya tidak ragu dengan keseriusan ini. Saya hanya kuatir ada hal-hal di luar kekuasaan kita yang membatalkan rencana itu. Bagi saya lebih baik ya nanti malam, atau tidak sama sekali."

Bu Zulaikha memandang wajah Zahrana lekat-lekat. Wajah yang teduh, namun sangat berkarakter.

"Baiklah. Dalam hal ini saya tidak memutuskan sendiri. Saya akan bicara sama anak dan keluarga. Saya pamit dulu. Setelah Maghrib nanti saya telpon."

Dokter berjilbab itu pulang setelah bersalaman dengan Zahrana dan ibunya. Zahrana memandang sedan dokter itu   hingga   hilang   di   tikungan.   Ada   kebahagiaan menyusup dalam hatinya. Tapi juga ada kecemasan. la
memang lagi bahagia. Namun untuk membentengi diri
agar tidak kecewa lagi setelah kebahagiaan di depan mata,  ia  menganggap  dialognya  dengan  Bu  Zul  tadi hanya main-main. Dialog latihan orang bermain drama atau sandiwara.



* * *



Azan Maghrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa tiba. Zahrana meneguk kolak dan makan mendoan. Ada kenikmatan  luar  biasa  saat  buka.  Kenikmatan  yang susah diungkapkan dengan kata-kata.

Hanya orang-orang yang berpuasa saja yang bisa merasakannya. Pembicaraan dengan Bu Zul itu tidak Zahrana sampaikan kepada ibunya. Ia tak ingin ibunya kecewa jika yang diharapkan tak terjadi lagi.

Setelah shalat Maghrib Zahrana mendapat telpon dari
Bu Zul,

"Bu Zahrana. Mengenai keputusan syarat yang Bu Zahrana ajukan, ini ibu langsung dengar sendiri suara Hasan ya.."

Suara di hand phone Zahrana lalu berubah,

"Bu Zahrana ini Hasan. Saya setuju dengan syarat ibu. Ibu siapkan wali dan saksinya saya akan siapkan maharnya dan penghulunya. Kami sekeluarga insya Allah berangkat sekarang, dan kami shalat Isya di masjid dekat rumah Ibu."

"Kau serius Hasan?"

"Iya Bu."

"Kau bisa mencintaiku?" "Iya Bu."
"Kalau begitu jangan lagi kaupanggil aku Ibu. Panggil aku, Dik. Dik Zahrana. Coba kau bisa nggak?"

Zahrana merasa tak perlu malu.

"Saya coba...Dik Zahrana, tunggu aku di masjid."

Mata Zahrana berkaca-kaca mendengarnya. Ribuan hamdalah menyesak dalam dada.

"Te..terima kasih. Kita bertemu di masjid, insya Allah." Sambungan ditutup.
Zahrana menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu sang ibu bingung dan bertanya-tanya pada Zahrana. Dengan terisak-isak  Zahrana  menjelaskan  apa  yang  terjadi. Sang ibu turut menangis. Zahrana lalu sujud syukur. Dalam sujudnya Zahrana memohon kepada Allah agar akad nikah itu benar-benar terjadi. Tidak sekadar angan-angan dan mimpi.

Dan pada malam kedua di Bulan Suci Ramadhan itu, apa yang diharapkan Zahrana terjadi. Akad nikah setelah shalat tarawih disaksikan oleh jamaah yang membludak. Sebagian besar adalah tetangga Zahrana.

Mereka turut terharu. Saat akad nikah ibu Zahrana menangis  tersedu-sedu.  Beberapa  ibu-ibu  juga menangis.

Malam itu Zahrana sangat bahagia. Hasan juga merasakan  hal  yang  sama.  Usai  akad  nikah  Hasan
mengajak   Zahrana    naik   mobilnya    menuju   hotel
termewah di tengah Kota Semarang. Di dalam hotel, dengan penuh kekhusyukan Zahrana menunaikan ibadahnya sebagai seorang isteri. Ibadah yang sudah lama ia tunggu-tunggu bersama seorang suami.

Di mata Hasan, Zahrana yang tampak manis dengan jilbab putihnya ternyata jauh lebih manis ketika rambutnya terurai. Hanya dia yang tahu seperti apa manisnya Zahrana. Mereka berdua saling mengagumi, saling mencintai dan saling menghormati.

Kebahagiaan  Zahrana  malam  itu  menghapus  semua derita yang dialaminya. Tasbih selalu mengiringi tarikan nafasnya.  Ia  semakin  yakin,  bahwa  Allah  bersama orang-orang yang sabar dan ihsan.

Malam itu, benar-benar malam kesaksian Zahrana atas Tasbih, Tahmid dan Takbir Cinta yang didendangkan Allah 'Azza wa Jalla kepadanya.

Subhaanallaah wal hamdulillaah, wa laailaahaillallaahu wallaahu akbar!



Candiwesi-Salatiga-Pesantren Basmala-Semarang, Ahad 30 Juli 2006 Pukul 15:51